I made this widget at MyFlashFetish.com.

Monday, April 29, 2013

Lecture Orangutan dan Hutan di SDN 15 Ketapang dalam menyonsong Sekolah Berpredikat Adiwiata

Ranti Naruri saat menyampaikan materi tentang orangutan (26/4)di SDN 15 Ketapang. Foto doc.  Suryandi, YP
Orangutan dan hutan menjadi tema perjumpaan lecture (ceramah lingkungan-red) pertama di SDN 15 Ketapang.  SDN 15 Ketapang merupakan salah satu SD yang menyongsong sekolah berbasis lingkungan (sekolah Adiwiata). Kami dari Yayasan Palung mendapat kesempatan sekaligus diundang memberi materi pelajaran tentang lingkungan di sekolah tersebut secara rutin, pada hari jumat, (26/4).  

Sebanyak 30 siswa hadir,terdiri dari murid SD kelas 5 dan 6, dalam lecture tersebut kami bercerita tentang orangutan dan hutan. Kami juga bercerita tentang keadaan hutan dan saat ini. Hutan (tumbuh-tumbuhan) dan orangutan termasuk satwa-satwa lainnya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dalam rantai kehidupan. Kami juga bercerita tentang  manfaat, fungsi dan ancaman hutan dan orangutan bagi manusia. 

Frans Suma selaku Kepala Sekolah, mengatakan sekolah mereka (SDN 15 Ketapang) saat ini sedang mempersiapkan sekolah berbasis adiwiyata. Pemberian materi lingkungan khususnya hutan sebagai dasar pengenalan dasar bagi siswa-siswi. Lebih lanjut menurut Frans Suma, pemahaman lingkungan berkaitan dengan hutan dan orangutan menjadi penting untuk dijadikan sebagai tumbuh dan kembangnya kecintaan anak didik.  
Rehat sejenak dengan mengajak siswa-siswi dengan permainan, foto doc. Suryandi, YP
SDN 15 Ketapang memberikan porsi lingkungan hidup dalam mata pelajaran mulok (muatan lokal) mereka. Pelajaran mulok selain lingkungan hidup ada juga pelajaran seni, tari dan budaya demikian ungkap Frans Suma saat berbincang-bincang dengan kami.  Seperti yang kami lihat, di sekolah mereka terdapat banyak poster, brosur dan ajakan untuk peduli lingkungan, ada berbagai macam gambar orangutan (Pongo Pygmaeus), Bekantan (Nasalis Larvatus), Tenggiling (Manis janicus) dan beberapa satwa lainnya seperti kelempiau/ owa dan burung enggang. 
Pit, saat menyampaikan materi tentang Hutan, foto doc. Suryandi ,YP
Selain itu, kami juga bercerita tentang orangutan dan hutan saat ini mengalami ancaman karena perbuatan tangan manusia. Salah satunya kami bercerita tentang hutan semakin menipis dan tempat hidup satwa sangat terdesak dan terancam punah akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan serta pembangunan. Pada kesempatan itu pula, kami menyampaikan fungsi hutan dan orangutan sangat penting bagi manusia karena semua manusia memiliki kewajiban menjaga lingkungan sekitar, hutan dan satwa secara berlanjut dari hari ke hari. Selain itu, Undang-undang no 05 tahun 1990 tentang keanekaragaman hayati (tumbuh-tumbuhan) dan satwa dilindungi kami sampaikan kepada mereka. Undang-udang no 5 tahun 1990 tersebut berisikan langangan untuk tidak mengambil, menangkap, melukai, membunuh, memperjualbelikan satwa dan tumbuh-tumbuhan dan satwa dilindungi. Apabila melanggar akan dikenakan sanksi penjara kurungan 5 tahun dan denda Rp100 juta.

Dalam menyampaikan materi, media yang kami gunakan dengan menggunakan media slide dan boneka, sambil bercerita, kami juga menyampaikan materi.  Lecture tersebut dilaksanakan dalam waktu ± 90 menit, kegiatan tersebut dimulai pukul 09.00 wib. Pada penyampaian materi, Ranti Naruri dari Pendidikan Lingkungan Yayasan Palung menyampaikan materi pengenalan tentang orangutan dan materi tentang hutan di sampaikan oleh Petrus Kanisius. Dari Yayasan Palung yang hadir dalam lecture tersebut; Ranti Naruri, Petrus Kanisius dan Suryandi (Reno) dari Program Pendidikan Lingkungan. 

Tema Orangutan dan hutan dalam lecture tersebut mendapat sambutan baik dari pihak sekolah dan siswa-siswi  SDN 15 Ketapang, mereka tampak sangat antusias dan dengan seksama mendengarkan penjelasan dari kami. Pihak sekolah mengharapkan sekolah mereka terus didampingi dengan diisi dengan materi-materi lingkungan, mereka juga menginginkan agar Yayasan Palung bisa mendampingi mereka secara rutin. Diakhir lecture, tepatnya sekitar pukul 10.30 wib, kami berpesan dan mengajak siswa-siswi tumbuh keinginan dan kesadaran untuk peduli dengan lingkungan sekitar dengan hal-hal kecil, salah satunya peduli dengan sampah di lingkungan mereka, lingkungan sekolah mereka.  

 By: Petrus Kanisius “Pit”- Yayasan Palung

Monday, April 22, 2013

Refleksi Hari Bumi 22 April 2013, Bumi Semakin Sekarat



Logo Peringatan Hari Bumi, 22 April. Foto doc. Internet
 
Bumi semakin sekarat. Panasnya bumi terasa menyengat dan membakar, cuaca sulit diprediksi, bencana tidak kunjung henti melanda dan terus berulang dan tidak kunjung berhenti, hutan semakin rusak dan semakin terkikis, manusia, satwa serta tumbuh-tumbuhan kian sulit bertahan secara berlanjut. Semua makhluk hidup di bumi dihadapkan dengan berbagai tantangan dan persoalan terkait keadaan bumi kita saat ini yang sakit akut akibat perbuatan dan perilaku manusia.  

Refleksi, perbuatan nyata dan berbagai langkah menjadi pilihan. Fakta dan realita saat ini, bumi semakin tidak bersahabat dengan sesamanya demikian juga dengan manusia berprilaku dengan bumi. Tanpa sadar atau tidak sadar sikap dan perilaku kita terhadap bumi menunjukkan ketidakserasian lagi, penghargaan bagi sesamapun (bumi dan manusia) begitu mulai kendur dan memudar. Manusia semakin sulit untuk menghargai adat, budaya dan tradisi yang sedikit banyak memiliki andil dan pengaruh terhadap keberlangsungan nasib bumi ini. Banyak fakta yang menjadi contoh nyata yang menggambarkan bumi mengalami sakit parah, semakin sekarat akibat tangan-tangan manusia yang kelihatan dan tidak kelihatan. 

Semakin bertambahnya populasi manusia berimbas pada tindakan dan perbuatan. Semakin bertambahnya kendaraan berdampak pada polusi asap knalpot yang tidak lain dapat mencemari (pencemaran) udara, demikian juga halnya dengan semakin bertambahnya pabrik-pabrik besar. Hal serupa juga terjadi ketika pembukaan lahan secara besar-besaran yang selanjutnya mereka bakar/terbakar dan berimbas pada peningkatan suhu bumi. Mencairnya es di Kutub Utara menjadi tanda kuat bahwa bumi semakin sakit parah. 

Perilaku manusia yang semakin sulit untuk bersahabat dengan bumi dan alam semesta ini juga terlihat ketika manusia sudah tidak bijaksana dan tidak peduli lagi dengan lingkungan sekitar. Sudah tidak heran, semakin menumpuk/bertambahnya jumlah sampah menjadi tanda semakin berkurang/kurangnya kesadaran manusia. Sehingga tidak jarang, bencana banjir yang kerap kali menghampiri  tidak terlepas dari persoalan ini.    

Peningkatan laju kerusakan hutan menjadi dasar kuat bumi semakin kritis dan semakin terkikis. Pembabatan hutan di Indonesia secara besar-besaran dari tahun ke tahun menjadi faktor utama. Hutan yang rusak tidak tanggung- tanggung, setiap tahunnya 1.315.000 ha atau dengan perhitungan setiap tahunnya luas areal hutan berkurang sebesar satu prosen (1%) berdasarkan data yang dikeluarkan FAO. Data dari berbagai lembaga lingkungan  menyebutkan, kerusakan hutan mencapai 1.600.000 – 2.000.000 ha per tahun dan lebih tinggi lagi data yang diungkapkan oleh Greenpeace, bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3.800.000 ha per tahun.  Kerusakan hutan atau semakin hilangnya hutan tidak lain karena disebabkan oleh aktivitas penebangan liar atau illegal logging, pengerukan untuk tambang dan minyak bumi, perkebunan dengan skala besar dan pembangunan menjadi semakin bertambahnya hutan dimusnahkan. Kerusakan hutan sudah pasti mempersulit tumbuh dan berkembangnya keanekaragaman hayati berupa habitat dan populasi satwa. Hutan sebagai tempat mereka tinggal semakin sempit, terhimpit dan terus terkikis habis. 

Bukti nyata dengan semakin rusaknya bumi ini, sudah barang tentu menjadi tanda bahwa bumi sudah semakin sulit untuk bertahan dan menanggung beban yang semakin berat, bahkan bumi sebenarnya sudah sangat renta dan tidak layak untuk dihuni lagi. 

Aksi nyata dan berbagai upaya untuk bumi sudah sepatutnya dilakukan secara berlanjut. Banyak cara yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencegah dan menyelamatkan bumi dari sakit. Telah banyak juga dilakukan oleh berbagai lembaga, pemerintah dan berbagai kalangan yang peduli dengan bumi dan lingkungan ini. Namun tidak cukup oleh sebagian saja, perlu perhatian bersama dan semua untuk merawat bumi ini. Bukankah kita sadar bahwa begitu banyak kita mendapatkan limpahan dan manfaat dari keberadaan bumi ini. Apakah kita masih selalu ingin menerima tanpa menabur dan menanam serta memilihara bumi ini?. Keberadaan bumi tergantung pada kita semua. Bumi semakin tua, semakin renta dan bumi semakin sekarat. Apabila ingin bumi masih bertahan lama, berarti berupaya agar ada tumbuh kesadaran untuk memilihara/merawat, menjaga dan menam kembali. Semoga saja… Selamat hari Bumi 22 April 2013, mari selamatkan bumi untuk kehidupan yang lebih baik dan berlanjut serta lestari. Salam lestari!!!!...

By: Petrus Kanisius “Pit”- Yayasan Palung

Wednesday, April 17, 2013

Berandai -andai Ketapang dan KKU Sebagai Sentra Kerajinan


Potensi Yang Terlupakan “Surga Kerajinan Tradisional Ketapang dan KKU” 

Sudah barang tentu, surga kerajinanan tradisional menjadi salah satu dasar yang kuat bagi tumbuh, berkembang dan majunya suatu wilayah atau daerah. Sudah pasti dan tidak bisa dipungkiri lagi kekhasan dan keunikan menjadi daya tarik tersendiri. Akan tetapi, geliat dari surga kerajinan tidak berbanding lurus dengan minimnya dukungan dari berbagai pihak khususnya di Kabupaten Ketapang dan KKU, Kalbar. 

Sangat beralasan jika surga kerajinan tradisional (kerajinan daerah-red) semestinya menjadi bagian dari prioritas. Mengapa demikian?. Seperti di seluruh wilayah Ketapang (hampir di seluruh kecamatan) memiliki potensi dan kekhasan terkait kerajinan dan para pengrajin dalam memprodusi hasil mereka berupa anyaman dari berbagai hasil hutan non kayu seperti dari hasil rotan, bambu dan pandan yang diolah/dianyaman menjadi berbagai hasil karya seperti tikar dan topi dari pandan. Selain itu juga, mereka mengolah, memanfaatkan bambu dan rotan untuk dijadikan meja, kursi dan ada yang dibuat untuk keranjang pakaian dan lemari pakaian.  Demikian juga halnya dengan masyarakat di Kabupaten Kayong Utara. Rata-rata hasil kerajinan mereka yang mereka olah hanya terbatas untuk mereka gunakan sehari-hari dan dijual jika ada yang pesan kepada mereka. 

Corak, motif, kualitas, kerapian dan keindahan dari anyaman dari hasil mereka menganyam tidak perlu diragukan lagi. Rutinitas, keuletan dan semangat mereka begitu menggelora dalam mengelola, memanfaatkan dan mengolah kerajinan tradisional ini. Mengingat mereka (para pengrajin) dalam mengolah kerajinan ini sejak jaman dahulu. Artinya mereka menganyam dan mengolah kerajinan ini secara turun temurun dari generasi ke generasi. Namun sayangnya adalah ketika surga kerajinan tradisional masyarakat di Tanah Kayong ini (sebutan untuk masyarakat Ketapang dan KKU) tidak begitu menjadi perhatian serius dan prioritas.

Sungguh ironis memang, banyak atau kebanyakan pihak lebih mengutamakan prioritas proyek, banyak bersuara politik dan memperbaiki inprastuktur tidak ada habis-habisnya.  Memang, wadah,  tempat dan organisasi/badan khusus mengurusi terkait para pengrajin ini sudah ada dan telah lama ada. Akan tetapi, sepertinya tidak serta merta mengakomodir apa yang menjadi kekuatan, potensi dan keahlian masyarakat tersebut. Seperti kita ketahui, kerajinan daerah/kerajinan tradional masyarakat erat kaitannya dengan aspek sosial, budaya dan ekonomi masyarakat yang seharusnya lestari dan berkelanjutan. Tidak hanya itu, kerajinan tradisional masyarakat erat kaitannya dengan potensi wisata hasil kerajinan khas daerah yang berorientasi pada pengembangan pasar dan penghasilan tambahan masyarakat itu sendiri (para pengrajin).

Keunikan dan keunggulan serta kualitas dari hasil kreasi anyaman-anyaman para pengrajin bukan tidak mungkin juga sebagai kekuatan, pendorong dan sumber penghasilan daerah untuk selanjutnya berdampak pada kemajuan dan membantu masyarakat semakin sadar bahwa potensi ekonomi masyarakat sebagai pemicu ekonomi yang lahir, tumbuh dan berkembang perlu adanya perhatian dan dukungan secara menyeluruh pula.  
     
Pada suatu ketika saya berandai-andai Jika Ketapang dan KKU Sebagi surga kerajinan tradisional menjadi sebuah harapan jika diakomodir sepenuhnya dan tidak setengah-setengah, tentunya ini perlu menjadi perhatian semua pihak. Pengandai-andaian tersebut sungguh nyata dan ada andai saja wilayah ini (Ketapang dan KKU) mampu dan mau menjadikan kerajinan daerah sebagai prioritas (menjadi sentra kerajinan yang terakomodir secara menyeluruh).

Mengapa kerajinan tradisional atau daerah bisa dikatakan sebagai raja dan tidak potensi yang lain?. Bukankah kita sering disuguhkan dengan hal-hal yang indah, menarik dan khas tentang suatu daerah?. Seperti misalnya, di wilayah Jawa di manapun itu, hampir dipastikan masyarakat dan pihak-pihak terkait dengan sigap, cepat dan cerdas untuk mengembangkan berbagai potensi yang ada. Daerah ataupun wilayah lainnya sudah dan telah mengembangkan potensi-potensi hasil kerjinan daerah mereka menjadi ikon wisata wilayah tersebut pula. Contoh nyatanya adalah ketika masyarakat Yogyakarta dan Bali. 

Sebuah harapan jika suatu saat wilayah Ketapang dan KKU menjadi wilayah daerah yang mampu mengakomodir hal ini. Tentunya apabila diperhatikan secara bijaksana oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat setempat sudah pasti menjadi kekuatan baru bagi potensi wisata kerajinan, dengan demikian suatu daerah dapat tumbuh dan berkembang ekonomi masyarakatnya secara mandiri dan berkelanjutan.Tentunya segala sesuatunya mungkin dan mampu terlaksana jika semua bisa bersama-sama pula. semoga saja…. 

Baca juga :

 
 
 
 
 
 
By : Petrus Kanisius “Pit”- Yayasan Palung 

Friday, April 12, 2013

Bahan Bacaan : Orangutan Diselamatkan dari Area Food Estate - Tribun Pontianak

Kembali dilakukan penyelematan terhadap 1 individu orangutan di lokasi land clearing Food Estate Kementerian BUMN, di Desa Sukamaju, Ketapang, Kalimantan Barat, Kamis (4/4/2013).

Setelah mendapatkan perawatan medis di shelter YIARI, orangutan tersebut kemudian dilepasliarkan kembali di hutan Desa Pematang Gadung, Sabtu (6/4/2013).

"Karena saat direscue, Kondisi orangutan tersebut sangat memprihatinkan, dia stres berat.

Baca selengkapnya di :  Orangutan Diselamatkan dari Area Food Estate - Tribun Pontianak

Thursday, April 11, 2013

HHBK, Hasil Hutan Tanpa Merusak Hutan Di Tanah Kayong

Anyaman dari Pandan untuk alas Meja dengan motif, Foto, doc. Wendi-Yayasan Palung

Kerajinan hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan sebuah bentuk dari keterampilan masyarakat dengan memanfaatkan hasil hutan dan mengolahnya tanpa merusak hutan. Tanaman hutan tersebut berupa pandan, nipah, keladi air dan bambu yang selanjutnya diolah menjadi beraneka macam anyaman tikar, Lekar, topi, kursi dan meja. Kerajinan HHBK tersebut digeluti perempuan dan ada juga laki-laki. Para pengrajin tersebut berasal dari Tanah Kayong, lebih tepatnya di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat.

Masyarakat KKU sebagian besar masih bergantung secara langsung terhadap hasil hutan dan tinggal di kampung atau desa yang memang berbatasan langsung dengan hutan. SDA di KKU sendiri saat ini masih sangat mendukung untuk kehidupan sehari-hari mereka. Sebagai contoh, bahan baku hasil hutan yang paling sering digunakan untuk keseharian masyarakat KKU seperti rotan, pandan, bemban, nipah dan jenis paku-pakuan. Bahan baku tersebut digunakan untuk membuat perlengkapan masyarakat setempat dalam aktivitas bertani ladang dan menangkap ikan. Sehingga bisa dikatakan masyarakat KKU memang memiliki bakat akan daya seni untuk membuat kerajinan secara tradisional.

HHBK dari pandan siap untuk di anyam. Foto, doc. YP
Saat ini, para pengrajin atau kelompok pengrajin binaan Yayasan Palung tersebar di beberapa desa di Kabupaten Kayong Utara. Para pengrajin tersebar seperti di Desa Batu Barat, Desa Pangkalan Buton, Desa Harapan Mulia dan Desa sejahtera.

Pengrajin tikar yang secara rutin menganyam tersebar di Desa Batu Barat, Kec. Simpang Hilir dan di Desa Pangkalan Buton di Kec. Sukadana. Hingga kini, mereka rutin memproduksi kerajinan tikar dalam seminggu mampu menganyam 7-10 tikar berukuran besar dan bisa lebih banyak jika berukuran kecil.

Para pengrajin menganyam tikar, foto doc. YP
Motif dan corak anyaman yang mereka anyam adalah motif pucuk rebung dan berbagai motif sesuai dengan keinginan dari pemesan. Anyaman tikar pengrajin berasal dari bahan bukan kayu, yakni bahan pandan (Pandanus spp); pandan Pahang dan pandan laut.

Para pengrajin mengolah lidi nipah (Nypa spp) untuk dijadikan lekar (tempat atau alas alat-alat dapur seperti kuali dan periuk-red) dan hiasan dinding.

Aneka anyaman tikar, hasil dari pengrajin setelah jadi/siap di jual. foto doc. YP
Pemerintah Daerah dan pihak terkait memiliki peran bersama dalam memajukan produk hasil hutan tanpa merusak hutan sebagai potensi pasar yang menjanjikan. Dengan adanya masyarakat yang mengelola hasil hutan bukan kayu berupa bambu, nipah dan pandan masyarakat tidak perlu ke hutan dan merusak hutan lagi.

BY : Petrus Kanisius "Pit"- Yayasan Palung, Ketapang, Kalbar.

Tulisan ini juga dapat di  baca di : http://nationalgeographic.co.id/forum/topic-2522.html

Friday, April 5, 2013

Catatan : Hidup ; Langkah Awal, Akhir Kita Belum Berakhir

Memulai langkah pertama dalam perjalanan atau berjalan dalam hidup ini tidak hanya kita rasakan saat masa-masa kanak , namun kita semua dihadapkan dengan sebuah langkah pertama dalam tatanan kehidupan masa kini. Langkah awal ada yang menyebutnya langkah untuk memulai semua dalam menjalani hidup ini belum/tidak kunjung berahir dan terus berlanjut. 
Langkah awal sebagai permulaan, memulai, mencoba, menapaki langkah demi langkah memang begitu membebani, sulit dan amat berat. Ada yang berkata berbicara memang lebih mudah dari pada mempraktekkannya atau melaksanakan/melakukan. Setiap langkah tidak luput dari rintangan, halangan, tantangan, hambatan atau apapun itu namanya, semua langkah awal dalam perjalanan sungguh amat terasa.   Dalam hidup ini, kita semua mengalami pahit, manis dan cucuran keringat dan derai air mata, namun ada juga yang mulai dan memulai dengan langkah tangis bahagia dan tidak tanpa beban.
Langkah awal hidup sejatinya sebuah asa (harapan), tetapi juga sebuah dilema dan problematika jika sukar atau sulit untuk di selesaikan atau dijalankan. Potret lengkap tentang kehidupan sudah sangat terasa dan tampak jelas di Negeri ini. Langkah awal memulai sesuatu apapun itu, dimulai digeluti dan terus digeluti langkah demi langkah. Dimulai dari langkah para pejuang yang berjuang, bergerak, bertempur di medan Tempur demi perjuangan meraih kemerdekaan. Kemerdekaan di Raih, namun lagi-lagi, langkah demi langkah harus dimulai lagi dengan langkah awal. Mengapa demikian?. Sebuah pertanyaan sekaligus sebagai ungkapan, Negara ini sudah lama merdeka akan tetapi terus berjuang dan terus berperang melawan musuh-musuh yang sampai kapanpun kita belum tahu kapan berakhirnya. 
Musuh-musuh itu tidak lain: Pertama, Semangat Melawan Kebodohan dan kemalasan;  Kebodohan dan kemalasan merupakan dua hal dalam hidup ini yang menjadi momok (akar permasalahan), bodoh atau kebodohan dan kemalasan adalah karena keadaan dan kondisi yang menentukan. Banyak contoh kasus terkait hal ini. Salah satu contohnya, banyak di daerah-daerah pedalaman (wilayah, dari Sabang  sampai Merauke) negeri ini sampai saat ini belum sepenuhnya tersentuh oleh dunia pendidikan. Di wilayah pedalaman yang kita ketahui memang tingkat pengetahuan tentang semua hal sepertinya dan yang lebih pastinya belum maksimal. Pemerataan akan hak-hak pendididikan bagi anak di pedalaman dalam memperoleh akses informasi dan pengetahuan sangat terbatas. Mereka belajar alakadarnya (seadanya) saja, tentunya terkait pengetahuan mereka yang mereka peroleh. Bahkan yang sangat menyedihkan, mereka tidak ada tempat untuk belajar yang layak. Berbeda dengan nasib teman-teman mereka di kota, mereka dilengkapi segala fasilitas yang serba mendukung dan terus didukung. Sebuah catatan penting terkait hal ini, kebodohan di daerah pedalaman bukan tanpa sebab, mengingat ada perbandingan terbalik, perbandingan terbaliknya adalah soal semangat. Semangat antara orang pedalaman dan semangat orang kota dalam mengenyam pendidikan. Di daerah pedalaman Kalimantan dan Papua, tetapi juga mungkin terjadi di daerah-daerah lain tanpa terkecuali. Mereka menempuh berkilo-kilo meter  dan berjam-jam waktu untuk mencapai di mana tempat mereka belajar (sekolah), namun mereka dari hari ke hari terus melakukan dan menjalankan tanpa kenal lelah. Ada yang sudah diperhatikan dan ada juga yang masih terpinggirkan dari nasib mereka. Berbeda dengan anak-anak di kota, mereka cenderung ada yang enggan dan sulit untuk dan mau bersekolah. Ada yang bersekolah namun asal-asalan (asal sekolah saja) dan cenderung gengsi-an satu dengan yang lain (berlomba-lomba pamer kebolehan dan kehebatan tetapi bukan ilmu / pelajaran melainkan kehebatan mereka untuk saling serang, saling adu jotos, saling bermalas-malasan dan sekelumit persoalan sex pranikah di bangku sekolah. Sebuah ironi memang, hidup dalam keterbatasan nun jauh di pedalaman untuk mengenyam pendidikan namun dipenuhi oleh semangat yang tak kunjung padam untuk meraih mimpi nyata. Berbeda dengan anak-anak di daerah kota, ada banyak diantara mereka yang malas  atau dapat dikatakan (hanya sekedar asal sekolah saja), tetapi ada juga yang benar-benar memanfaatkan waktu sekolah dan fasilitas dengan baik dan bijaksana serta berprestasi. Sebuah langkah awal dibutuhkan dalam memerangi /melawan Kebodohan dan kemalasan.
Kedua, Sosial dan Ekonomi masyarakat; Sebuah capaian kehidupan masyarakat dalam sebuah negara adalah dilihat dari aspek sosial masyarakat dan ekonominya dalam perilaku dan pencapaian sosial ekonomi masyarakat dalam sebuah Negara pula. Kehidupan social ekonomi masyarakat saat ini serba komplit (Yang kaya semakin kaya dan Si miskin semakin miskin), kesenjangan tidak kunjung henti. Berbagai upaya dilakukan tidak kalah menggema dilakukan oleh berbagai pihak untuk menghatasi hal ini namun ketimpangan terus berlanjut. Tingkat kriminalitas semakin memuncak, kesadaran semakin memudar dan hukum semakin dilanggar dengan tindakan pengambilan hak yang bukan haknya. Jerit tangis dan gema teriakan terus bergelora saat si miskin sakit menahan beban yang semakin bertambah. Semua contoh terkait keadaan sosial dan ekomomi masyarakat beserta permasalahannya tersusun, tersaji di beberbagai media saban hari. Hamper semua media menampilkan kriminalitas,kesenjangan sosial, kemiskinan dan tingkat ekonomi masyarakat yang cenderung merosot.  Realita kehidupan dan fakta  terjadi. Sementara yang kaya semakin merajalela dan berkuasa, si miskin semakin miskin melarat dan sekarat. Keadilan Sosial bagi seluruh masyarakat berganti penguasaan bagi seluruh rakyat yang membuat masyarakat semakin sulit menghadapi situasi yang serba tidak menentu. 
Ketiga, Pudarnya penghargaan dan perlakuan terhadap lingkungan sekitar (alam raya/bumi pertiwi) dan adat tradisi ; Sudah barang tentu ini sudah menjadi persoalan semua dan bersama, lingkungan semakin tidak terjaga, hutan semakin terkikis dan adat tradisi semakin ditinggalkan. Lingkungan semakin terluka dan tersakiti sehingga berimbas pada berbagai bencana yang terjadi. Ribuan bah kan berjuta hutan ditebang, digusur dan digerus membuat satwa dan makhluk hidup yang mendiami semakin terhimpit dan terjepit. Semakin meluasnya pembukaan lahan semakin mempersulit tatanan kehidupan ini untuk aman dan nyaman. Demikian juga halnya dengan adat dan tradisi yang semakin hari semakin ditinggalkan. Masyarakat kebanyakan (masyarakat modern) lebih memilih tradisi baru dengan mengganti tradisi lama yang cenderung merubah pola penghargaan terhadap lingkungan dan tradisi lokal menjadi tradisi  hura-hura dan tradisi poya-poya. Sudah semakin jarang ditemukan pola prilaku masyarakat yang memilihara adat dan tradisi lokal. Sampai saat ini penghargaan terhadap lingkungan sekitar sudah/telah berganti dengan perlakuan serba acuh tak acuh dan menghargai, menindas dan menipu demi pencapaian dan penguasaan alam/ hutan. Tradisi penguasaan diatas penderitaan masyarakat yang lemah semakin terbukti dengan semakin berkembangannya tradisi konflik. Langkah awal hidup sudah semakin gontai dan berganti dengan keadilan sosial bagi yang memilki modal dan yang memiliki kekuasaan/kuasa. Sehingga sudah barang tentu alam raya /bumi/ hutan semakin menjerit kesakitan dengan tangis mereka berupa bencana, tradisi semakin terpinggirkan dan masyarakat  lokal semakin tersingkir.
Ketiga musuh tersebut merupakan bagian-bagian yang sering berkecamuk dan sering muncul di permukaan dan masih banyak lagi persoalan lainnya. Fakta dan realita hidup dari langkah awal dalam hidup tidak kunjung berakhir atau diakhiri. Cerminan hidup, langkah hidup dan akhir hidup sepertinya belum berakhir,tantangan demi tantangan, perjuangan demi perjuangan tiada henti berjalan dari setiap detik dan setiap gerak langkah. Segala upaya dan usaha dilaksanakan, berbagai solusi dan tawaran silih berganti menambal sulam problematika hidup ini namun lagi-lagi belum sepenuhnya terselesaikan bahkan cenderung semakin memperuncing dan memperumit persoalan yang terjadi.
Keberagaman, kebersamaan, penghargaan dan pengertian satu dengan yang lain sudah semakin sulit untuk menyatu. Keserakahan kian merajai, pemerataan berganti penguasaan, damai berganti konflik dan kesenjangan semakin tumbuh berkembang menciptakan masyarakat kecil semakin antipasti. Hidup memang selalu dihadapkan dengan langkah awal dan sikap tidak pernah puas dalam menjalani hidup ini sehingga segala rasa dan semua ingin dikuasai semua tanpa melihat kedepan. Alangkah indahnya di negeri ini dalam setiap langkah awal dalam menjalani hidup ini  untuk sama rasa, sama berbagi, sama pengharapan dan sama kebersamaan bagi semua tanpa tangis dan derita. Semua tergantung pada kesadaran diri sendiri dari masing-masing pribadi pula. Namun mampu dan maukah kita ???.... semoga saja…. 
By :Petrus Kanisius – Yayasan Palung