I made this widget at MyFlashFetish.com.

Tuesday, September 4, 2012

Peristiwa Kematian Orangutan di Wajok Menyisakan Cerita dan Pertanyaan



Peristiwa kematian Orangutan yang dievakuasi sepuluh hari lalu, (26-27/8/12) di Dusun Parit Wa’dongka, Desa Wajok Hilir, Kabupaten Pontianak menyisakan cerita dan pertanyaan dari berbagai kalangan terlebih khusus kalangan konservasi. Tentunya pertanyaan yang mendasar adalah kenapa orangutan yang seharusnya bisa diselamatkan malah menjadi petaka dengan hilangnya nyawa orangutan tersebut.

Secara kronologis, sabtu (25/8/2012) petang, orangutan diketahui ada di kebun warga di Dusun Parit WA'dongka, Wajok Hilir, Kabupaten Pontianak. Warga melaporkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalbar dan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia Program Kalbar. Minggu pagi, upaya evakuasi mulai dilakukan, sebanyak tiga tembakan obat bius tidak mampu melumpuhkan orangutan jantan berumur 17 tahun dengan bobot 70 kilogram. Warga lalu berinisiatif mengasapi orangutan yang tinggal di pelepah pohon kelapa supaya orangutan turun. Saat pengasapan, api memercik ke dahan pohon kelapa yang kering sehingga api menyambar orangutan.

Sangat disayangkan dan memilukan memang, kondisi orangutan yang seharusnya bisa diselamatkan justru merengut nyawa. Orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus) jenis kelamin jantan berusia sekitar 15 tahun, mati karena komplikasi non-infeksius, luka bakar sekitar 70 persen atau hampir di sekujur tubuhnya. Orangutan yang mengalami luka bakar masih berpindah pohon rambutan. Pada Senin, upaya evakuasi berhasil. Namun, orangutan mengalami dehidrasi dan stres karena berinteraksi dengan orang selama beberapa hari. Orangutan langsung dirawat di Daops Manggala Agni Kalbar.

Tim gabungan yang melakukan evakuasi, yaitu BKSDA Kalimantan Barat, Yayasan Titian, International Animal Rescue (IAR), Lembaga Gemawan dan WWF-Indonesia, pada Rabu sepakat untuk membawa orangutan ke IAR agar perawatan bisa lebih intensif. Rabu pukul 19.00 Wib, orangutan dibawa melalui jalan darat dari Manggala Agni di Rasau Jaya, Kubu Raya, ke Ketapang. Namun, menjelang perbatasan Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Sanggau, orangutan yang diperiksa berkala oleh dokter hewan yang menyertainya itu ternyata sudah tidak bergerak. Sekitar pukul 22.30 wib, orangutan dinyatakan mati. ( Kompas, 30/8).

Berdasarkan hasil Otopsi klinik hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kalbar, penyebab kematian orangutan tersebut karena komplikasi non-infeksius, kemudian akibat luka bakar di sekujur tubuhnya serta stres fisik dan dehidrasi," kata Drh Yudha Dwi Harsanto dalam keterangan persnya di Pontianak, Jumat seperti diberitakan Republika, (31/8). Lebih lanjut, Tim Dokter Hewan Nekropsi menyimpulkan penyebab utama kematian orangutan tersebut, bisa karena luka bakar yang menyebabkan dehidrasi, stres dan ditambah komplikasi, serta jantung orangutan itu yang diselimuti lemak sekitar 50 persen.

Cerita matinya orangutan tersebut menyisakan pertanyaan dari berbagai kalangan, pertanyaan tersebut sangat beralasan sekali, karena penyelamatan orangutan beberapa hari seharusnya bisa dilakukan dengan baik malah merengut nyawa orangutan tersebut. Secara pasti dapat dikatakan bahwa gagalnya menyelamatkan nyawa orangutan yang dilakukan karena beberapa faktor: pertama; penanganan terhadap orangutan tersebut sangat jelas koordinasi, dalam penanganan satwa terlebih khusus resue (penyelamatan-red) diperlukan koordinasi yang baik. Namun seperti yang terjadi dalam penanganan orangutan tersebut dirasa belum maksimal. Mengingat, berdasarkan fakta, orangutan diselamatkan dengan cara diasapkan dengan jarak yang terlalu dekat sehingga berdampak pada terbakarnya bulu dan badan dari orangutan tersebut. Pada dasarnya cara pengasapan bertujuan untuk menghalau orangutan dengan syarat harus jauh dari keberadaan di tempat di mana dia berada. koordinasi ini sebagai persiapan, strategi dan langkah dalam hal penanganan. Kedua: komunikasi, proses komunikasi tim penyelamat dan masyarakat pada saat melakukan rescue. Seharusnya ada komunikasi yang baik dengan warga di tempat kejadian, mengingat seperti yang terjadi, setelah pengasapan dilakukan berakibat pada tebakarnya tubuh orangutan. seharusnya ada langkah atau cara aman yang bisa dilakukan dengan cara memanjat pohon dan menyelamatkan orangutan dengan cara di ikat atau di jala, selanjutnya diturunkan.

Sudah sangat jelas, konflik antara satwa dan manusia terjadi. Fakta terjadinya konflik antara manusia dan satwa, hal ini bermula ketika satwa sudah semakin terdesak akibat habitat dan populasi mereka kian terancam akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan. Selain itu juga, alasan utama kenapa orangutan tersebut bisa sampai ke kebun (perkampungan/ pekarangan-red) masyarakat karena pakan atau makanan mereka sudah semakin terbatas bahkan tidak tersedia lagi. Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita bersama dan semua, konflik antara satwa dan manusia akhir-akhir ini cenderung meningkat diakibatkan oleh semakin kompleksnya persoalan menyangkut pembukaan lahan yang berakibat semakin terancamnya jiwa dari satwa-satwa dilindungi seperti orangutan dan tumbuh-tumbuhan dilindungi.

Kekhawatiran banyak pihak terhadap semakin meningkatnya ancaman terhadap habitat orangutan dan satwa dilindungi lainnya serta perlu adanya penangangan khusus terhadap penyelamatan memang merupakan upaya yang harus dilakukan. Mengingat, hingga saat tim specialis rescue masih terasa sangat minim dan jauh berada di tempat-tempat di mana sebaran orangutan itu berada. Semoga di kesempatan mendatang, penyelamatan orangutan bisa maksimal dan tidak mengulang kejadian serupa. Tulisan ini sebagai refleksi kita bersama dan bukan bermaksud apa-apa. Akan tetapi ini menjadi bahan renungan dan pelajaran kita bersama agar hal serupa jangan sampai terulang.

Foto : Sesaat setelah di Evakuasi, Saat dalam perjalanan menuju Ketapang, orangutan ini mati Doc. Mongabay.co.id / WWF- Indonesia

By : Petrus Kanisius “Pit”- Yayasan Palung

No comments:

Post a Comment