Desa sejak dahulu tidak sekedar dipahami sebagai pemerintahan desa, tetapi seperti negara juga mencakup wilayah, masyarakat dan juga pengakuan dari luar, dalam hal ini negara. Desa biasanya mempunyai wilayah pangkuan desa yang dikelola baik sebagai sumber pendapatan ekonomi, konservasi maupun ‘kedaulatan’ desa. Wilayah itu bisa berwujud hutan dan atau tanah desa atau sering disebut tanah ulayat atau tanah adat. Tanah desa sendiri sekarang terdiri bermacam-macam seperti tanah bengkok, titi sara, tanah kas desa yang seringkali juga berwujud hutan atau kebun. Kemudian karena kondisi sosial politik negara yang kemudian menetapkan semua wilayah hutan yang secara formal tidak dibebani hak milik menjadi kawasan hutan negara, mengakibatkan wilayah pangkuan desa pun secara otomatis ‘diambil alih’ oleh negara menjadi yang kita kenal sekarang adalah Hutan Negara. Padahal kalau kita baca monografi desa-desa pasti masih terdapat hutan-hutan yang masuk wilayah administrasi desanya. Tetapi realitanya desa dan masyarakatnya hanya menjadi penonton dan kena getah pertama kali jika terjadi masalah pada hutan-hutan tersebut.
Konfigurasi penyeragaman seperti terlihat dalam UU No. 5 tahun 1974 yang disusul pelemahan desa menjadi hanya sekedar wilayah administrasi terkecil dibawah Kecamatan yang tidak mempunyai kekuasaan mengatur diri sendiri, mengakibatkan berubahnya struktur, posisi, bahkan wilayah desa. Terjadi banyak pemekaran dan atau penggabungan desa-desa yang sering kali tidak memandang faktor asal usul dan kesejarahan, sehingga praktis identitas desa asal sebagai suatu wilayah otonom menjadi kabur dan bahkan hilang.
Sejak tumbangnya pemerintahan orde baru, kemudian memasuki era reformasi timbul semangat dan tuntutan baik dari arus bawah maupun tekanan internasional untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dan demokratis pada semua sektor. Wacana otonomi daerah mulai diimplementasikan dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. UU Kehutanan meski belum sepenuhnya ideal tetapi sudah ditetapkan dan menjadi acuan pengelolaan hutan Indonesia. Undang-undang kehutanan yang pada konsideran juga mengacu pada Undang-undang Agraria dan Undang-undang pemerintahan daerah, meski tidak konsisten tetapi sedikit banyak terdapat semangat pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan penyerahan sebagian urusan kehutanan kepada daerah kabupaten.
Entah faktor dan latar belakang apa pada penjelasan pasal 5 UU Kehutanan muncul istilah dan definisi Hutan Desa bersama-sama dengan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Adat. Hutan desa disebutkan sebagai hutan negara yang dikelola oleh desa untuk kesejahteraan desa. Tidak ada penjelasan lebih lanjut karena ini memang diletakkan di penjelasan. Definisi tersebut tentu saja masih multi interpretasi, terutama menyangkut kelembagaan dan aktor pengelola, wilayah dan unit pengelolaan hutan desa, serta tujuan dan sistem pengelolaannya. Ketika desa hanya dipahami sebagai pemerintahan desa maka definisi ini masih berbasis negara. Bagaimanapun pemerintahan desa adalah representasi negara yang mau atau tidak mau dibebani hak dan kewajiban layaknya negara. Ketika desa dipahami utuh, mencakup pemerintahan, wilayah dan rakyat maka definisi tersebut bisa menjadi satu model baru pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Awang (2003) membagi pengertian Hutan Desa dari beberapa sisi pandang, yaitu; (a) dilihat dari aspek teritorial, hutan desa adalah hutan yang masuk dalam wilayah administrasi sebuah desa definitif dan ditetapkan oleh kesepakatan masyarakat, (b) dilihat dari aspek status, hutan desa adalah kawasan hutan negara yang terletak pada wilayah administrasi desa tertentu dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan desa, (c) dilihat dari aspek pengelolaan, hutan desa adalah kawasan hutan milik rakyat dan milik pemerintah(hutan negara) yang terdapat dalam satu wilayah administrasi desa tertentu dan ditetapkan secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan pemerintah sebagai hutan desa yang dikelola oleh organisasi masyarakat desa. Awang sendiri lebih cenderung pada pengertian (c) sebagai definisi ideal hutan desa. Sementara itu Alam (2003) yang sedang mengembangkan hutan desa di Sulawesi Selatan mendefinisikan hutan desa sebagai kawasan hutan negara, hutan rakyat, dan tanah negara yang berada dalam wilayah administrasi desa yang dikelola oleh lembaga ekonomi yang ada di desa, antara lain rumah tangga petani, usaha kelompok, badan usaha milik swasta, atau badan usaha milik desa yang khusus dibentuk untuk itu, dimana lembaga desa memberikan pelayanan publik terkait dengan pengurusan dan pengelolaan hutan. Definisi dari Universitas Hasannudin ini bahkan sudah menyebutkan kelembagaan dan aktor pengelolaannya, yang tentu saja akan tergantung pada kondisi lokal tiap-tiap desa.
Damar (1999) pada awal menggulirkan konsep hutan desa mendefinisikan hutan desa sebagai kawasan hutan negara yang masuk dalam wilayah desa tertentu dan dikelola oleh masyarakat desa tertentu. Satu definisi yang masih umum dan cenderung mengikuti bahasa undang-undang. Dalam perjalananannya ketika berinteraksi langsung di lapangan, membicarakan pengelolaan hutan di desa memang harus holistik dan integrasi dengan pembangunan pedesaan. Sebagai satu kesatuan wilayah maka dari aspek status pengelolaan hutan desa harus mencakup status hutan negara dan hutan rakyat yang ada di desa tersebut. Lembaga dan aktor pengelola akan tergantung pada kesiapan dan kondisi masing-masing lokasi. Yang pasti masyarakat desalah sebagai aktor utama pengelola, meskipun nantinya berbentuk kelompok tani, badan hukum perkumpulan, koperasi, dan lain sebagainya.
Pada tingkat peraturan, seperti Kepmendagri No. 64/1999 dan juga berbagai peraturan daerah turunan PP No. 25/2000, menyebutkan hutan desa sebagai salah satu sumber kekayaan desa. Penyebutan tanpa penjelasan tersebut disamping menimbulkan berbagai pertanyaan tetapi juga menjadi peluang untuk mengimplementasikan konsepsi hutan desa, tidak mesti menunggu definisi baku dari pemerintah, tetapi bisa berangkat dari kesepakatan masing-masing elemen di desa, yang mestinya bisa diperkuat hanya dengan peraturan desa.
Sumber : Kabar Indonesia.com
No comments:
Post a Comment