I made this widget at MyFlashFetish.com.

Tuesday, August 27, 2013

Dolar Naik, Harga Karet di Daerah Turun VS Harga Kebutuhan RT Meroket, Tanggungjawab Siapa ?


Saat Menoreh (menyadap karet-red). foto dok. berita daerah.com

Nilai rupiah yang kian melempem terhadap nilai tukar dolar Amerika menjadi sebuah tanda tanya, akankah kita kembali krisis seperti dulu?. Harga karet sudah berbulan-bulan mengalami nasib serupa semejak bulan April lalu, sementara harga kebutuhan pokok semakin meroket saja. Siapa yang semestinya bertanggungjawab?.
Sejak sepekan, nilai rupiah kian melemah. Banyak berspekulasi nilai tukar rupiah terkoreksi anjlok akibat berbagai sentimen pasar, ada inflasi yang terjadi, permintaan dan penawaran yang tidak berimbang, meningkatnya pembayaran nasional bagi internasional, selain itu juga dipicu oleh beberapa ekonomi dunia memburuk sehingga ada pemberlukaan membuat saham dibursa dijual. Itu yang menjadi sumber tidak menentunya nilai rupah, menurut beberapa pakar menyebutkan.  Saat ini, 1 $ Amerika =   Rp 10.000-  Rp11.200. Lantas, apa hubungannya dolar,  harga karet turun dan harga kebutuhan?.
 Hampir pasti atau sudah pasti, hal ini tidak bisa terelakan. Keterkaitan paling nyata, harga sembako mulai merangkak semejak bulan puasa lalu hingga kini tidak kunjung berhenti meroket bahkan ada beberapa diantara kebanyakan masyarakat sudah tidak sanggup dengan situasi ini, harga kebutuhan semakin meningkat, sementara mata pencarian berupa hasil kerja sadapan karet/harga karet semakin anjlok. Banyak petani karet yang menjerit. Harga kebutuhan pokok setiap hari mutlak harus di penuhi, sementara hasil dari menyadap karet per kilonya hanya dihargai Rp 8.000 - Rp 9.000 harga saat ini di kabupaten-kabupaten di Kalbar. Sedangkan di pedalaman (di kampung-kampung-red), lebih parah lagi, harga karet kisaran Rp 6. 500 - Rp7.000 saja. Bayangkan betapa sulitnya mereka. Tuntutan kebutuhan pokok VS harga karet yang turun dihadapkan dengan dolar yang melejit semakin menambah derita mereka.
Tidak hanya itu, tuntutan akan keperluaan pendidikan bagi anak-anak mereka tidak bisa dipungkiri. Jajanan, kebutuhan sekolah mulai dari SD- SMA bahkan hingga Perguruan Tinggi  mereka andalkan dari hasil sadapan karet. Dulu mereka sempat bernafas lega, harga karet (getah-red) pernah mencapai harga Rp 12.000- Rp17.000 bahkan hingga mencapai harga Rp 23.000. Saat ini, mereka dihadapkan dengan situasi yang semakin sulit, lataran kebanyakan mereka (penoreh/petani karet-red) hanya mengandalkan hasil ini selain mereka sambil berladang dan bercocok tanam.
Kait mengait antara dolar, harga karet turun dan kebutuhan semakin meroket alias mencekik nyawa realita berbicara. Harga tidak sebanding dengan hasil/upah dari kerja keras mereka. Bahkan ada yang dalam sepekan jika hujan turun berturut-turut hampir dipastikan tidak bisa menyadap karet dan mereka sulit untuk berbelanja karena mereka tidak bisa ngaret/noreh (menyadap karet-red). Meroketnya harga kebutuhan tidak lain dan tidak bukan terpengaruh pasar. Teringat cerita masa lalu, ketika saya mengenyam pendidikan/ sekolah, saya sangat tergantung sekali dengan kiriman dari orangtua, salah satunya dari hasil karet. Sangat terasa, jika harga karet turun dan hujan turun, kiriman dari orangtua juga pasti sedikit alias tidak cukup untuk membayar uang sekolah dan uang asrama saat itu. Hal serupa juga pasti terjadi pada orangtua-orangtua yang menyekolahkan anah mereka sampai bangku Perguruan Tinggi. Mereka sangat berharap dan sangat terbantu jika situasi stabil dengan kata lain harga karet membaik sangat mereka harapkan.    
   Krisis atau tidak krisis sejatinya mau bagaimana lagi, masyarakat di daerah pedalaman sudah semakin sering merasakan dampak-dampak yang terjadi dan mereka berusaha untuk tidak menyerah tetapi mungkin juga ada yang tidak sanggup dengan keadaan. Sejatinya stabilitas diberbagai aspek menjadi sangat penting bagi masyarakat kebanyakan. Bayangkan saja atau bahkan benar-benar terjadi, misalnya dan mungkin hampir dipastikan terjadi, ketika banyak diantara orangtua yang sudah semkin tidak sanggup lagi, ketika 1-2 bahkan 3 anak mereka sekolah sekaligus dengan hasil hanya mengandalkan harga karet.
Harga meroket, nilai rupiah turun drastis dan harga karet semakin semakin terjun bebas maka sudah dipastikan semakin menambah derita masyarakat pedalaman. Hitung punya hitung, dalam sehari, masyarakat menghasilkan sekitar 10 kg karet dengan harga Rp 9.000 maka penghasilan mereka Rp 90.000/ hari, sementara kebutuhan mereka kisaran Rp. 100.000/ hari. Kebutuhan tersebut seperti biaya pendidikan, kepulan asap dapur dan jajanan untuk anak hampir dipastikan melebihi Rp 100.000, alias tidaklah cukup. Mereka bisa mengaret rutin, tetapi terkendala cuaca dan kendala-kendala lainnya seperti ada di beberapa tempat di pedalaman Kalbar,  akses jalan darat menuju tempat mereka menjual karet yang kebanyakan jauh dari kota, jalur air demikian juga. Otomatis mereka harus potong dan memotong (mengeluarkan biaya  lebih-red). Ada yang menyebutkan turunnya harga karet akibat perubahan iklim yang terjadi pada periode Maret- Mei 2013, hal ini berimbas pada penurunan produksi karet. Selain itu juga karena ketersediaan karet di tingkat penampung karet dunia seperti China dan Jepang masih melimpah, sehingga permintaan akan karet menurun.  
Terlepas dari beberapa faktor diatas tadi, kembali pertanyaan terlontar, menjadi tanggungjawab siapa?.  Pemerintah kah? Atau siapakah?. Tentunya semua berharap, ada solusi untuk menjawab hal ini. Masyarakat di pedalaman nun jauh di sana sudah terlanjur menjerit dan hampir dipastikan melarat dengan keadaan ini. Biaya bantuaan dari pemerintah juga mereka rasakan namun tidak seberapa dengan kebutuhan mereka saat ini. Memang kesan dari tulisan ini terlalu cengeng dan mudah menyerah dengan keadaan, tetapi sesungguhnya realita yang terjadi masyarakat sudah cukup sekarat dan melarat ketika harga kebutuhan semakin meroket dan menghantam mencekik nyawa.

By : Petrus Kanisius “Pit”-Masyarakat Pedalaman, Kalbar, bekerja di Yayasan Palung
Baca juga di : http://regional.kompasiana.com/2013/08/27/dolar-naik-harga-karet-di-daerah-turun-vs-harga-kebutuhan-rt-meroket-tanggungjawab-siapa--587537.html

No comments:

Post a Comment