Saat Menoreh (menyadap karet-red). foto dok. berita daerah.com |
Nilai
rupiah yang kian melempem terhadap nilai tukar dolar Amerika menjadi sebuah tanda
tanya, akankah kita kembali krisis seperti dulu?. Harga karet sudah
berbulan-bulan mengalami nasib serupa semejak bulan April lalu, sementara harga
kebutuhan pokok semakin meroket saja. Siapa yang semestinya bertanggungjawab?.
Sejak
sepekan, nilai rupiah kian melemah. Banyak berspekulasi nilai tukar rupiah
terkoreksi anjlok akibat berbagai sentimen pasar, ada inflasi yang terjadi,
permintaan dan penawaran yang tidak berimbang, meningkatnya pembayaran nasional
bagi internasional, selain itu juga dipicu oleh beberapa ekonomi dunia memburuk
sehingga ada pemberlukaan membuat saham dibursa dijual. Itu yang menjadi sumber
tidak menentunya nilai rupah, menurut beberapa pakar menyebutkan. Saat ini, 1 $ Amerika = Rp
10.000- Rp11.200. Lantas, apa
hubungannya dolar, harga karet turun dan
harga kebutuhan?.
Hampir pasti atau sudah pasti, hal ini tidak bisa
terelakan. Keterkaitan paling nyata, harga sembako mulai merangkak semejak
bulan puasa lalu hingga kini tidak kunjung berhenti meroket bahkan ada beberapa
diantara kebanyakan masyarakat sudah tidak sanggup dengan situasi ini, harga kebutuhan
semakin meningkat, sementara mata pencarian berupa hasil kerja sadapan
karet/harga karet semakin anjlok. Banyak petani karet yang menjerit. Harga kebutuhan
pokok setiap hari mutlak harus di penuhi, sementara hasil dari menyadap karet per
kilonya hanya dihargai Rp 8.000 - Rp 9.000 harga saat ini di
kabupaten-kabupaten di Kalbar. Sedangkan di pedalaman (di kampung-kampung-red),
lebih parah lagi, harga karet kisaran Rp 6. 500 - Rp7.000 saja. Bayangkan
betapa sulitnya mereka. Tuntutan kebutuhan pokok VS harga karet yang turun
dihadapkan dengan dolar yang melejit semakin menambah derita mereka.
Tidak
hanya itu, tuntutan akan keperluaan pendidikan bagi anak-anak mereka tidak bisa
dipungkiri. Jajanan, kebutuhan sekolah mulai dari SD- SMA bahkan hingga
Perguruan Tinggi mereka andalkan dari
hasil sadapan karet. Dulu mereka sempat bernafas lega, harga karet (getah-red)
pernah mencapai harga Rp 12.000- Rp17.000 bahkan hingga mencapai harga Rp
23.000. Saat ini, mereka dihadapkan dengan situasi yang semakin sulit, lataran
kebanyakan mereka (penoreh/petani karet-red) hanya mengandalkan hasil ini
selain mereka sambil berladang dan bercocok tanam.
Kait
mengait antara dolar, harga karet turun dan kebutuhan semakin meroket alias
mencekik nyawa realita berbicara. Harga tidak sebanding dengan hasil/upah dari
kerja keras mereka. Bahkan ada yang dalam sepekan jika hujan turun
berturut-turut hampir dipastikan tidak bisa menyadap karet dan mereka sulit
untuk berbelanja karena mereka tidak bisa ngaret/noreh (menyadap karet-red). Meroketnya
harga kebutuhan tidak lain dan tidak bukan terpengaruh pasar. Teringat cerita
masa lalu, ketika saya mengenyam pendidikan/ sekolah, saya sangat tergantung
sekali dengan kiriman dari orangtua, salah satunya dari hasil karet. Sangat terasa,
jika harga karet turun dan hujan turun, kiriman dari orangtua juga pasti sedikit
alias tidak cukup untuk membayar uang sekolah dan uang asrama saat itu. Hal serupa
juga pasti terjadi pada orangtua-orangtua yang menyekolahkan anah mereka sampai
bangku Perguruan Tinggi. Mereka sangat berharap dan sangat terbantu jika
situasi stabil dengan kata lain harga karet membaik sangat mereka harapkan.
Krisis atau tidak krisis sejatinya mau
bagaimana lagi, masyarakat di daerah pedalaman sudah semakin sering merasakan
dampak-dampak yang terjadi dan mereka berusaha untuk tidak menyerah tetapi
mungkin juga ada yang tidak sanggup dengan keadaan. Sejatinya stabilitas
diberbagai aspek menjadi sangat penting bagi masyarakat kebanyakan. Bayangkan saja
atau bahkan benar-benar terjadi, misalnya dan mungkin hampir dipastikan
terjadi, ketika banyak diantara orangtua yang sudah semkin tidak sanggup lagi,
ketika 1-2 bahkan 3 anak mereka sekolah sekaligus dengan hasil hanya
mengandalkan harga karet.
Harga
meroket, nilai rupiah turun drastis dan harga karet semakin semakin terjun bebas
maka sudah dipastikan semakin menambah derita masyarakat pedalaman. Hitung punya
hitung, dalam sehari, masyarakat menghasilkan sekitar 10 kg karet dengan harga Rp
9.000 maka penghasilan mereka Rp 90.000/ hari, sementara kebutuhan mereka kisaran
Rp. 100.000/ hari. Kebutuhan tersebut seperti biaya pendidikan, kepulan asap
dapur dan jajanan untuk anak hampir dipastikan melebihi Rp 100.000, alias
tidaklah cukup. Mereka bisa mengaret rutin, tetapi terkendala cuaca dan
kendala-kendala lainnya seperti ada di beberapa tempat di pedalaman Kalbar, akses jalan darat menuju tempat mereka menjual
karet yang kebanyakan jauh dari kota, jalur air demikian juga. Otomatis mereka
harus potong dan memotong (mengeluarkan biaya lebih-red). Ada yang menyebutkan turunnya
harga karet akibat perubahan iklim yang terjadi pada periode Maret- Mei 2013,
hal ini berimbas pada penurunan produksi karet. Selain itu juga karena
ketersediaan karet di tingkat penampung karet dunia seperti China dan Jepang masih
melimpah, sehingga permintaan akan karet menurun.
Terlepas
dari beberapa faktor diatas tadi, kembali pertanyaan terlontar, menjadi
tanggungjawab siapa?. Pemerintah kah? Atau
siapakah?. Tentunya semua berharap, ada solusi untuk menjawab hal ini. Masyarakat
di pedalaman nun jauh di sana sudah terlanjur menjerit dan hampir dipastikan melarat
dengan keadaan ini. Biaya bantuaan dari pemerintah juga mereka rasakan namun tidak
seberapa dengan kebutuhan mereka saat ini. Memang kesan dari tulisan ini
terlalu cengeng dan mudah menyerah dengan keadaan, tetapi sesungguhnya realita
yang terjadi masyarakat sudah cukup sekarat dan melarat ketika harga kebutuhan
semakin meroket dan menghantam mencekik nyawa.
By : Petrus Kanisius “Pit”-Masyarakat
Pedalaman, Kalbar, bekerja di Yayasan Palung
Baca juga di : http://regional.kompasiana.com/2013/08/27/dolar-naik-harga-karet-di-daerah-turun-vs-harga-kebutuhan-rt-meroket-tanggungjawab-siapa--587537.html
No comments:
Post a Comment