I made this widget at MyFlashFetish.com.

Friday, September 7, 2012

Konflik Hewan-Ekosistem, Peran Pemda Minim



KETAPANG – Adanya pembukaan areal hutan di Kabupaten Ketapang dinilai menjadi penyebab utama tingginya konflik antara hewan dengan ekosistem dan hewan dengan manusia. “Karena cukup tingginya konflik tersebut membuat habitat hewan menjadi menyempit,” kata Direktur Yayasan Palung, Tito P Indrawan.Kendati konflik itu cukup tinggi, namun, kata Tito, mitigasi konflik untuk mengatasi hal ini sangat minim dilakukan pemerintah daerah setempat dan insitusi terkait. “Memang saat ini pemerintah daerah sudah menyatakan moratorium terhadap izin-izin baru pembukaan kawasan hutan.

Namun kenyataannya, kawasan-kawasan yang saat ini tengah dibuka areal hutannya, mengantongi izin lama,” ujarnya. Pembukaan kawasan hutan di Kabupaten Ketapang, menurut dia, cukup marak. Hal ini mengingat kabupaten ini mempunyai potensi untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Tito menyatakan, tak hanya orangutan sebagai satwa dilindungi yang terancam habitatnya, hewan-hewan dan tumbuhan yang hidup di kawasan hutan yang dibabat tersebut juga mengalami nasib yang sama.

Dia menceritakan bagaimana terjebaknya seekor orangutan di areal perkebunan kelapa sawit yang tengah melakukan land clearing, di daerah Laman Satong, Matan Hilir Utara (MHU), belum lama ini, merupakan salah satu contoh. Di Ketapang sendiri, mereka mencatat, dalam 2 tahun terakhir, sedikitnya tiga kasus temuan masyarakat terhadap keberadaan orangutan yang masuk ke perkebunan masyarakat maupun perusahaan. “Ini baru yang berhasil dievakuasi, ada juga laporan keberadaan orangutan, yang terjebak areal land clearing, namun setelah kita ke lokasi, mereka sudah bisa menyelamatkan dirinya,” ujar Tito.

Mereka memaparkan bagaimana macan dahan, trenggiling, dan owa-owa merupakan satwa-satwa yang dilindungi di Kalbar, dan keberadaannya menjadi buruan karena nilai jual tinggi. Satwa-satwa ini, menurutnya, bisa saja dipelihara atau bahkan dibunuh karena dianggap sebagai hama dan juga mengancam manusia. Mariamah Achmad, peneliti di Yayasan Palung, mengatakan, keberadaan macan dahan atau macan dahan Borneo (Neofelis diardi borneensis) yang disebut-sebut populasinya di alam bebas diperkirakan berkisar antara 5 ribu – 11 ribu ekor, sangat jarang lagi mereka jumpai, bahkan oleh masyarakat setempat.

“Laporan yang menjumpai hewan ini, tidak ada dalam 2 tahun terakhir,” katanya.Yopie Suhendra, aktivis lingkungan hidup Ketapang, menegasakan tingginya konflik antar hewan-manusia serta hewan-ekosistem karena mitigasi yang hampir tidak ada. “Balai Konservasi Sumber Daya Alam tidak mempunyai blue print yang kuat untuk mengatasi hal ini,” ujarnya.

Dia juga mengatakan sumber daya manusia yang pada dasarnya adalah ujung tombak penegakan hukum, malah terkesan lemah. “Banyak kasus pemeliharaan satwa dilindungi yang seharusnya merupakan kasus penyitaan menjadi penyerahan masyarakat,” ujarnya. Hal ini, disayangkan dia, lantara tidak menimbulkan efek jera, dan tidak dapat memberantas perdagangan satwa dilindungi, yang sebenarnya sudah menjadi industri ilegal terselubung yang belum terungkap. Mitigasi konflik, lanjut dia, hanya sebatas pamflet. Belakangan, tugas pokok dan fungsinya banyak dibantu oleh LSM-LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup. (ash).

Sumber Berita : http://pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=115526
foto : Internet

No comments:

Post a Comment