Lingkungan atau istilah kerennya “environment” banyak dikaji dari berbagai sudut pandang dan berbagai segi keahlian & keilmuan. Dari segi mistis, teknologi budaya, ekonomi, politik dll. Sehingga tak ayal lagi banyak ahli/Profesor yang “lahir” dan expert di bidang lingkungan dengan background beranakaragam. Kalau mau mengatakan dan mengkaji lingkungan, ada satu pertanyaan, lingkungan yang mana? Bisa bervariasi jawaban. Lingkungan: rumah, hutan, laut, udara, pabrik, sawah, danau, gurun, sungai, kerja, masyarakat atau yang mana ?. Begitu luas kajian mengenai lingkungan. Dalam tulisan ini sekedar menyinggung mengenai lingkungan kecil di sekitar balik bukit. Jadi tidak menggeneralisasikan lingkungan ini dengan lingkungan itu. Suatu daerah yang dulu banyak pohon jati, karet (orang jawa=biasa bilang “alas”). Sekarang kalau dilihat hanya seperti gundukan tanah tanpa warna kehijauan. Ah, seperti tulisan di kendaraan umum “Awas hati-hati, ada gundukan mulus”.
Kiranya kondisi hutan, karet di sekitar kita hampir mirip dengan tulisan di kendaraan umum tadi. Berbagai media banyak yang mengekspose berita adanya “hutan” (jati/karet atau lainnya) yang ditebangi, dicuri, dieksploitasi dll. Eksploitasi kata yang cukup tepat untuk mengatakannya. Pengambilan kayu entah itu legal/ilegal tanpa melihat kemampuan hutan untuk kembali pada kondisi hutan semestinya bisa dikatagorikan sudah over. Kemudian muncul istilah over eksploitasi. Kalau sudah over ya itu tadi…bisa keluar istilah gundukan mulus.
Lingkungan juga memiliki hak untuk hidup. Mereka berjuang bertahun-tahun agar tetap eksis. Mereka dapat bertahan hidup pun kalau ada makhluk lain (khususnya “human”/manusia). Mengapa makhluk lain seperti manusia sangat dibutuhkan bagi lingkungan agar ia dapat bertahan hidup ? Tentu pertanyaan tersebut bagi para instink penghancur akan mudah untuk menjawabnya. Ya. “Karena kita bisa menghancurkan, kita bisa pula memperbaiki.” Mengapa bisa muncul jawaban tersebut ? Ya. “Karena kita juga bergantung pada hutan.” Tulisan ini tidak mendiskritkan manusia sebagai makhluk penghancur / “distroyer”.
Banyak teori agar lingkungan (hutan) tidak hancur, dari reboisasi, sampai “atur diri sendiri” hutanmu. Itu teori diperuntukan manusia untuk mengatur lingkungan. Namun, adakah teori bagi lingkungan untuk mengatur manusia. Tidak ada. Yang ada kalau mereka ramah dengan kita, maka kita pun akan ramah dengan mereka (manusia). Apakah mereka akan ramah dengan kita ?
Bukti adanya gundukan mulus, karena ulah manusia yang tidak ramah dengan hutan. Bukti adanya banjir dan kekeringan juga membuktikan hutan tidak ramah bagi manusia. Bagi hutan, mereka berjuang bertahun-tahun agar tidak mati. Kemudian ulah manusia yang tidak ramah, mereka mau merampas kemerdekaan hutan. Namun hukum itu sungguh terasa adil. Meski manusia anggap hutan sudah mati, namun alam yang akan membalas perbuatan manusia. Seperti hukum alam aja yang mengatur antara manusia dengan hutan. Apakah memang perlu demikian ? Seperti nyanyian sunyi dan lesu bagi hutan “Kemerdekaan ini, janganlah cepat berlalu….” Mendengar nyanyian lesu tersebut apakah manusia dengan hukumnya akan lebih merampas hutan atau akan bertindak ramah dengan mereka ?.
Dari berbagai sumber- (Pit-YP).
No comments:
Post a Comment