Senin (22/10), kami dari Yayasan Palung berkeliling ke Kecamatan Tayap
untuk melakukan pemutaran film lingkungan sekaligus mensosialisasikan satwa
dilindungi. Dua hari kami berada di Kecamatan Tayap, kami berkeliling di dua
desa.
Foto 1 : Saat Pemutaran Film Berlangsung, tampak antusias dari masyarakat untuk menyaksikan
Desa pertama yang kami kunjungi adalah desa Sepakat Jaya. Desa ini merupakan desa yang baru, buah
dari pemekaran Desa Nanga Tayap. Sebagai desa yang baru, pemutaran film dan
sosialisasi sangat cocok dilakukan di desa ini. Mengingat wilayah tersebut
belum masuk perkebunan dan pertambangan. Desa Sepakat Jaya juga merupakan
desa yang bersebelahan dengan salah satu hutan lindung.
Foto 2 : Persentasi sosialisasi satwa-satwa dilindungi di Tanah Kayong
Salah satu hutan lindung di tempat ini termasuk kawasan hutan yang tersisa dan cukup baik
bagi keberadaannya berupa keberagaman biodiversty (keanekaragaman hayati) dan satwa
dilindungi seperti orangutan (Pongo
pygmaeus), bekantan (Nasalis larvatus), kelimpau (Hylobates muelleri),
kelasi (Presbytis rubicunda), beruang madu (Helarctos malayanus),
trenggiling (Manis javanicus), kukang (Nycticebus sp), Enggang Gading (Buceros rhinoceros vigil) dan
satwa-satwa lainnya masih cukup terjaga.
Film lingkungan yang kami putar, berupa
film dokumenter. Adapun film yang kami putar adalah Hari esok yang menghilang,
Indonesia diambang kepunahan. Film dokumenter ini bercerita tentang alam
Indonesia berada dalam kekhawatiran akibat pembukaan lahan. Sedangkan film
hiburan, kami putarkan film Duyung. Film Duyung bercerita tentang pentingnya
menjaga lingkungan khususnya peduli dengan sampah. Sebelum pemutaran film,
terlebih dahulu kami menampilkan slide berupa foto-foto hasil temuan di
lapangan dan penjelasan singkat tentang penyebab-penyebab kerusakan hutan dan
lingkungan yang terjadi. Penjelasan singkat disampaikan oleh Manager tim
kampanye dan perlindungan Satwa Yayasan Palung, Edi Rahman.
Hari kedua, pemutaran film kami lakukan di desa Sungai Kelik. Desa Sungai
Kelik seperti diketahui merupakan sentral karena desa ini menjadi tempat
persinggahan bagi banyak orang yang dari
perkebunanan dan perusahaan kayu. Selasa (23/10), kami melakukan pemutaran film
di malam harinya. Film yang kami putar pun sama dengan film yang kami putar
sebelumnya. Di Desa Sungai Kelik keterancaman hutan dan satwa dapat dikatakan
sangat tinggi. Hal ini dikarenakan wilayah tersebut terkepung di antara
perkebunan dan perusahaan kayu yang sudah lama beroperasi. Selain itu juga,
Desa Sungai Kelik menjadi daerah yang rawan saat musim penghujan tiba.
Satwa-satwa dilindungi banyak yang diburu oleh pemburu dari masyarakat setempat
dan dari luar wilayah.
Foto 3: Mobil perusahaan pengangkut kayu melintas di jalan, Desa Sungai Kelik
Pemutaran film
lingkungan dan sosialisasi satwa dilindungi menjadi perhatian kami (Yayasan
Palung- red), mengingat perlunya menyampaikan informasi kepada masyarakat
banyak terkait UU RI No. 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Berdasarkan
Undang-undang no. 05 tahun 1990 pasal 21 ayat 2 dan Undang-undang no. 40 ayat 2
menyebutkan: setiap orang dilarang, menangkap, membunuh, mengkonsumsi memperniagakan
satwa dan tumbuh-tumbuhan yang dilindungi baik dalam keadaan hidup ataupun mati.
Apabila melanggar akan di pidana 5 tahun
penjara dan denda Rp 100.000.000.
Hermawan, selaku Kepala Desa Sungai
Kelik menyambut baik dengan diadakan pemutaran film lingkungan
dan sosialisasi satwa dilindungi. Hal ini menjadi penting karena masyarakat
perlu tahu dan terbuka pikiran dengan begitu banyaknya fakta yang terjadi
terkait semakin meningkatnya kerusakan hutan dan satwa dilindungi semakin
terancam. Lebih lanjut menurutnya, kesadaran itu
lahir dari diri sendiri. Segencar dan sehebat apapun kita melakukan sosialisasi
atau semacamnya jika kesadaran dari diri sendiri tidak ada, maka semua itu akan
sia-sia. Herman juga mengatakan selama hidupnya paling tidak tega untuk
membunuh binatang, karena menurutnya dia sangat senang dengan binatang.
Foto 4 : Kayu-kayu
berdiameter besar yang dibawa mobil perusahaan, sedikit banyak berpengaruh pada
semakin kritisnya hutan di Kalimantan
Trie Nugroho, Assisten tim kampanye dan perlindungan satwa
dari Yayasan Palung mengatakan, kesadaran dan keinginan masyarakat akan perubahan
terhadap lingkungan bersahabat sebenarnya
telah dimiliki oleh masyarakat di sekitar perkebunan sawit dan perusahaan kayu
skala besar ini. Akan
tetapi terkadang keluhan dan aspirasi masyarakat sangat kurang mendapatkan
respon dari para pemangku kebijakan. Sehingga wajar jika masyarakat hanya tinggal berdiam
diri dan terpaksa mengikuti alur kehidupan yang sudah rusak di tempat mereka
sendiri. Ibarat
terjajah di tanah kelahiran sendiri, dan di jajah oleh sesama di negeri sendiri.
Kegiatan yang kami
laksanakan tersebut berjalan dengan lancar dan mendapat sambutan baik dari
masyarakat. Menurut Kepala Desa, kegiatan semacam ini sebagai pengetahuan baru
bagi masyarakat dan sangat menghibur. Mereka berharap dilain waktu ada lagi
kegiatan semacam ini. Keesokan harinya kami kembali pulang menuju Ketapang.
Petrus Kanisius “Pit”- Yayasan Palung