I made this widget at MyFlashFetish.com.

Friday, March 15, 2013

Ulasan: Kita Terlalu Serakah dengan Sumber Daya Alam Semua Menderita




Foto dari udara perkebunan kelapa sawit sebuah perusahan di Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (25/2). Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menilai 1,8 juta hektare kebun kelapa sawit di dalam negeri harus diremajakan untuk meningkatkan produktivitas di 2013. (ANTARA/Zabur Karuru)

Kita selalu serakah dengan sumber daya alam, banyak diantara kita enggan untuk peduli, jika ada yang peduli beribu rintanganan dan tantangan menghadang. Jika tidak ingin alam marah atau murka dengan dengan manusia, sudah selayaknya kita menghargai bumi ini dengan kasih dan sayang berupa perbuatan nyata sekecil apapun itu. Saat ini bumi dan alam raya sudah semakin tersakiti, merintih dan mengerang kesakitan, berlinang menetes air mata. Kira-kira dengan demikian ungkapan yang cocok dengan situasi saat ini. Pemerataan suatu pembangunan dan kesejahteraan memberikan arti tersendiri bagi masyarakat kebanyakan, hal ini menyakut sebuah kebenaran dan keadilan kepada masyarakat pula.

Pernyataan ini tentunya tertuju pada sebuah kebijakan dan kesesuaian dalam penerbitan sebuah ijin, menyangkut perkebunan dan pertambangan. Tidak hanya itu, kesesuaian antara pajak, penerima pajak dan penikmat pajak khususnya pembangunan sepertinya patut untuk kita pertanyaan. Opini ini sedikit mempertanyakan dari sekian banyak persoalan di daerah ini. Masyarakat, Pemerintah dan perusahaan merupakan salah satu elemen yang tidak terpisahkan dalam menentukan sebuah kebijakan, namun yang terjadi cenderung serakah dengan alam.

Kelimpahan alam memberikan beberapa alasan terutama sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat, tetapi yang menjadi persoalan adalah memberi arti bagaimana alam dapat dikelola secara berkelanjutan. Ada beberapa contoh tentang bagaimana sumber daya alam ini di mainkan; Pertama, Perusahaan : perusahaan mengajukan ijin kepada pembuat kebijakan. Pembuat kebijakan mendapatkan pajak dari perusahaan. Kedua, Pembuat kebijakan sebagai pelaksana adalah Pemerintah . Pembangunan adalah aspek yang harus dilaksankan oleh pembuat kebijakan.

Sedangkan masyarakat adalah penerima upah dari hasil kerja dari perusahaan dan penerima dari pemerintah berupa pembangunan. Ketiga, bagaimana agar alam ini tetap ada dan terjaga dengan pengelolaan yang sesuai tanpa merusak alam dan tanpa merugikan siapapun termasuk satwa dan tumbuh-tumbuhan langka. Orangutan saat ini sulit mencari dan mendapat tempat dirumahnya sendiri di habitatnya (hutan). Ketiga alasan ini merupakan hubungan saling keterkaitan dan tidak dapat dipisahkan.

Ketersediaan alam yang bebas tanpa perusak, tampaknya sangat sulit untuk dipertahankan, tetapi bagaimana kita mampu dan belajar untuk menghargai dan mensyukuri alam ini sebagai tempat berpijak. Kebebasan dalam suatu kebijakan, perbuatan memang layak untuk dilaksanakan. Tetapi yang terpenting adalah keselarasan sumber daya alam dan lingkungan menjadi terjalin dengan adanya penghargaan satu dengan yang lainnya.
Pembukaan lahan berupa hutan secara luas berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya, foto doc. Yayasan Palung

Selanjutnya adanya pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek seperti Nilai Konservasi Tinggi (NKT) yang manfaatnya adalah memperhatikan keseimbangan dan tetap mempertahankan wilayah sebaran satwa. Tidak hanya itu, syarat  Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) menjadi permasalahan pokok yang hingga kini belum atau tidak dijalankan oleh berbagai perusahaan yang katanya ingin menerapkan NKT dan AMDAL dalam masing-masing perusahaan mereka.
Tuntutan warga kepada Perusahaan, foto doc. Yayasan Palung

Semua masyarakat mendambakan keadilan berdasarkan asas budaya dan lingkungan terjaga. Sumber Daya Alam melimpah memiliki seribu bahkan sejuta harapan bagi kehidupan, pembangunan yang berkelanjutan yang harus diterapkan. Dengan demikan, kelak anak cucu di masa mendatang masih atau mampu menikmat indahnya alam, masih menjumpai satwa-satwa, kicauan burung dan masih bertahannya keberadaan hutan.  Penghargaan akan alam semesta merupakan salah satu alasan yang harus dilakukan agar alam ini tetap terjaga dan lestari. 

Sebuah Realita; Hutan, Satwa dan Manusia Sama Menderita 

Sebuah realita kehidupan saat ini sungguh-sungguh terjadi. Hutan, satwa dan manusia sama-sama menderita dengan kondisi saat ini. Mengapa demikian?. Bukankah hutan, satwa dan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan ini. Mengapa mereka menderita?. 

Tajuk-tajuk pepohonanan yang menjulang tinggi, suara  merdu satwa sudah semakin jarang terdengar dan  mereka semakin langka, manusia sudah semakin jarang untuk ramah dengan sesama mereka. Hutan yang begitu teduh, rimbun dan kokoh berdiri sudah semakin sulit untuk berdiri. Mereka kian tergusur seiring dengan berjalannya waktu, demikian juga halnya dengan satwa dan manusia, tempat hidup mereka kian terhimpit dan terjepit.

Indahnya hijau rupa, eloknya telaga, gemuruh gemericiknya jernihnya air, hawa dingin menusuk rusuk dan jiwa raga. Saat hutan rimbun berdiri kokoh banyak yang berseloroh, mendewakan, memuja dan merasa terjaga serta terlindungi untuk terus damai dan tenang. Akan tetapi kini, semakin hari semua telah berubah. Langit biru berubah menjadi awan hitam, indahnya rupa hijau berganti padang ilalang dan gersang. 

Hutan tidak lagi hutan, berganti tanaman berbuah bertandan tetapi tidak ramah bagi sesama diantara mereka. Tanah keras, tanah merah dan tanah lembut tidak memiliki penahan yang kokoh. Batang-bang besar berganti tanaman serupa mirip kaktus menjadi duri dalam daging bagi pohon sesama mereka. Tanah di gali, di bor, di keruk, di lobangi selanjutnya mereka di pilih, di buang, di angkat, di angkut dan jual. Banyak yang mengaduh, gaduh, menjerit kesakitan, di antara mereka ada yang mendera dan tersakiti, tetapi ada yang tertawa bahagia. Mendera dan tersakiti bila mereka terhantam dan tertimbun tumpukan tanah, terbawa arus deras air mengalir dikala hujan dan air badai datang. Akar pohon besar dan kecil sudah kian menipis terkikis tidak kuat lagi menahan deru dan laju tanah serta air. Banyak jiwa dan nyawa tanpa dosa melayang tanpa berhenti dan terus terulang terjadi. 

Satwa atau binatang atau juga ada yang menyebutnya hewan, makhluk hidup ini memiliki tempat tinggal bernama hutan dan hidup bersama dengan hutan. Mencari makan dan menjelajahi rimbunya hutan, hijaunya daun dan tersediannya buah-buah hutan yang disiapkan hutan bagi mereka tanpa pamrih. Makanan selalu siap tersedia setiap mereka inginkan. Mereka dengan senang bersanda gurau, berteriak sesuka mereka dan meraung kapan saja mereka mau. Namun sekarang mereka sekarat, melarat, menjerit dan terhimpit. Saudara-saudara mereka hutan sekarang sedang sakit keras, bahkan diantara mereka kritis dan mati tanpa banyak yang peduli.  Deru mesin seakan tidak berhenti mendera, hutan berganti lapangan, semakin luas dan terus meluas. Semak duri dan semak belukar, batang pohon kecil dan juga pohon besar semakin tidak tersisa tanpa terasa, walau ada yang tersisa tetapi mereka merana dan khwatir akan nasib mereka diambang ancaman yang terus mendera. 

Kini nasib derita satwa terkatung-katung dan bergantung pada hutan dan manusia. Orangutan, Bekantan, Tenggiling, burung Enggang, Beruang, Burung-burung kecil, Monyet atau kera, Kelasi, Kelempiau atau Owa, Harimau, Gajah, Cendrawasih, Kukang, Kasuari, Kakatua, Bangau, Elang, Macan Tutul dan Macan Dahan, Badak, Rusa, Babi Rusa, Kijang, burung Nuri dan masih banyak lagi. Satwa-satwa tidak lagi dengan mudah mencari makan, demikian juga hidup mereka yang kian terusik. Mereka tidak luas dan bebas lagi bergerak dan mencari makan. Ada diantara mereka yang diburu, ditangkap, dimakan dan diperjualbelikan. Hidup mereka kian terkungkung dengan berpindah tempat, berbeda di mana seharusnya mereka berada yakni hutan nan rimbun dan ramah. Kini mereka, semakin sekarat. Hidup Sesama satwa lainnya yang tinggal di laut, seperti ikan Paus, Hiu, Penyu, Kura-kura, Labi-labi dan lumba-lumba semakin hari tempat mereka kian terjepit.  Mereka di bom, di pukat dan di jaring. Karang dan laut sudah kian tercemar dengan aktivitas saudara mereka manusia.
Orangutan  tinggal di Hutan bukan di kandang, saat ini hutan semakin terkikis habis. Hutan tempat berdiam satwa semakin sedikit. Foto doc. Yayasan Palung

Manusia membuka mata seolah berkaca, namun terkadang lupa dan ingin selalu mendominasi. Hidup manusia begitu beruntung, mereka dititipkan akal, pikiran dan talenta oleh Sang Pencipta/Tuhan Yang  Maha Kuasa.  Ada banyak di antara manusia yang begitu peduli dan begitu vocal untuk bersama menjaga dan peduli dengan nasib sesama mereka manusia, sesama hutan dan satwa. Tetapi ada sangat banyak manusia lupa dengan akal, pikiran dan talenta yang mereka miliki. Mereka di titipkan titah atau amanat untuk saling menghargai sesama, semua dan bersama termasuk dengan hutan dan satwa. 

Kehidupan begitu mudah dan begitu kerasnya, bertahan dengan berbagai tantangan dan realita hidup dan tuntutan. Sering terjadinya pertikaian, penghargaan terhadap sesama semakin suli ditanamkan atau diperoleh. Manusia banyak yang lupa dan egois. Ada banyak yang ingat dan peduli, namun sulit untuk berbuat karena aturan, tantangan dan larangan.  Mereka yang lupa tanpa henti membiarkan teriakan, tangisan sesama manusia itu sendiri, saat melarang sesama mereka menggunduli hutan dan mereka lupa tempat sesama mereka satwa sedang kritis, sakit dan menjerit terhimpit. Mereka ingat namun terkadang lupa dan ada yang sengaja melupakan bahkan memperlakukan sesama mereka berbeda pula. Sepertinya mereka sudah semakin sulit dan lupa untuk saling menghargai.         
  
Jerit tangis kemarahan hutan, satwa dan manusia sama menggema saat menderita. Hutan, satwa dan manusia sepertinya berdiri sendiri-sediri. Manusia sibuk dengan diri mereka, hutan dan satwa diam, tetapi mereka berbicara dengan bahasa mereka, sesekali menjerit saat mereka mengerang kesakitan dan terbangun, saat air tidak lagi sanggup menampung dirinya maka dia tidak kuasa menahan untuk mengalir dan menyusuri setiap sudut desa dan kota.    

Setiap waktu, nafas hidup hutan, satwa dan  manusia  selalu berjalan sembari berjalan menyusuri waktu dan menunggu sampai ajal menjemput. Hutan meranggas, riuh bersuara merintih dan rebah tak berdaya hilang lenyap tidak bertepi. 

Satu kesatuan antara hutan, satwa dan manusia sudah seharusnya terjalin. Akan tetapi, sepertinya manusia kian sombong dan angkuh dengan akal, pikiran dan talenta mereka. Realita dan fakta berbicara, hutan semakin tua dan renta, satwa semakin langka dan manusia semakin mandiri dan enggan peduli dengan sesamanya namun bencana semakin sering terjadi. 

Hutan dan satwa sama-sama bicara dalam bahasa mereka tentang derita dan tangis mereka kepada manusia. Bukan kah, Saat hutan tidak tegak lagi berdiri dan satwa menangis meraung sakit terhimpit dan manusia sulit bicara hanya ada satu kata mereka menderita.  

 Hutan, satwa dan manusia sama-sama menderita. Sebuah kewajaran bila dikatakan, hutan membutuhkan manusia, satwa butuh hutan dan hutan perlu manusia untuk demi keberlanjutan. Semoga semua mampu untuk saling menghargai satu dengan yang lainnya, perbuatlah hidup ini indah bagi semua dan sama tanpa membedakan dan apa adanya. Semoga saja…

Petrus Kanisius “Pit”- Yayasan Palung

No comments:

Post a Comment