Kita
selalu serakah dengan sumber daya alam, banyak diantara kita enggan untuk
peduli, jika ada yang peduli beribu rintanganan dan tantangan menghadang. Jika
tidak ingin alam marah atau murka dengan dengan manusia, sudah selayaknya kita
menghargai bumi ini dengan kasih dan sayang berupa perbuatan nyata sekecil
apapun itu. Saat ini bumi dan alam raya sudah semakin tersakiti, merintih dan
mengerang kesakitan, berlinang menetes air mata. Kira-kira dengan demikian
ungkapan yang cocok dengan situasi saat ini. Pemerataan suatu pembangunan dan
kesejahteraan memberikan arti tersendiri bagi masyarakat kebanyakan, hal ini
menyakut sebuah kebenaran dan keadilan kepada masyarakat pula.
Pernyataan
ini tentunya tertuju pada sebuah kebijakan dan kesesuaian dalam penerbitan
sebuah ijin, menyangkut perkebunan dan pertambangan. Tidak hanya itu,
kesesuaian antara pajak, penerima pajak dan penikmat pajak khususnya
pembangunan sepertinya patut untuk kita pertanyaan. Opini ini sedikit
mempertanyakan dari sekian banyak persoalan di daerah ini. Masyarakat,
Pemerintah dan perusahaan merupakan salah satu elemen yang tidak terpisahkan
dalam menentukan sebuah kebijakan, namun yang terjadi cenderung serakah dengan alam.
Kelimpahan
alam memberikan beberapa alasan terutama sebagai sumber penghidupan bagi
masyarakat, tetapi yang menjadi persoalan adalah memberi arti bagaimana alam
dapat dikelola secara berkelanjutan. Ada beberapa contoh tentang bagaimana
sumber daya alam ini di mainkan; Pertama, Perusahaan : perusahaan mengajukan
ijin kepada pembuat kebijakan. Pembuat kebijakan mendapatkan pajak dari
perusahaan. Kedua, Pembuat kebijakan sebagai pelaksana adalah Pemerintah .
Pembangunan adalah aspek yang harus dilaksankan oleh pembuat kebijakan.
Sedangkan
masyarakat adalah penerima upah dari hasil kerja dari perusahaan dan penerima
dari pemerintah berupa pembangunan. Ketiga, bagaimana agar alam ini tetap ada
dan terjaga dengan pengelolaan yang sesuai tanpa merusak alam dan tanpa
merugikan siapapun termasuk satwa dan tumbuh-tumbuhan langka. Orangutan saat
ini sulit mencari dan mendapat tempat dirumahnya sendiri di habitatnya (hutan).
Ketiga alasan ini merupakan hubungan saling keterkaitan dan tidak dapat
dipisahkan.
Ketersediaan
alam yang bebas tanpa perusak, tampaknya sangat sulit untuk dipertahankan,
tetapi bagaimana kita mampu dan belajar untuk menghargai dan mensyukuri alam
ini sebagai tempat berpijak. Kebebasan dalam suatu kebijakan, perbuatan memang
layak untuk dilaksanakan. Tetapi yang terpenting adalah keselarasan sumber daya
alam dan lingkungan menjadi terjalin dengan adanya penghargaan satu dengan yang
lainnya.
Pembukaan lahan berupa hutan secara luas berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya, foto doc. Yayasan Palung |
Selanjutnya
adanya pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek seperti Nilai
Konservasi Tinggi (NKT) yang manfaatnya adalah memperhatikan keseimbangan dan
tetap mempertahankan wilayah sebaran satwa. Tidak hanya itu, syarat Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) menjadi
permasalahan pokok yang hingga kini belum atau tidak dijalankan oleh berbagai
perusahaan yang katanya ingin menerapkan NKT dan AMDAL dalam masing-masing
perusahaan mereka.
Semua
masyarakat mendambakan keadilan berdasarkan asas budaya dan lingkungan terjaga.
Sumber Daya Alam melimpah memiliki seribu bahkan sejuta harapan bagi kehidupan,
pembangunan yang berkelanjutan yang harus diterapkan. Dengan demikan, kelak
anak cucu di masa mendatang masih atau mampu menikmat indahnya alam, masih
menjumpai satwa-satwa, kicauan burung dan masih bertahannya keberadaan
hutan. Penghargaan akan alam semesta
merupakan salah satu alasan yang harus dilakukan agar alam ini tetap terjaga
dan lestari.
Sebuah
Realita; Hutan, Satwa dan Manusia Sama Menderita
Sebuah
realita kehidupan saat ini sungguh-sungguh terjadi. Hutan, satwa dan manusia
sama-sama menderita dengan kondisi saat ini. Mengapa demikian?. Bukankah hutan,
satwa dan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dalam
kehidupan ini. Mengapa mereka menderita?.
Tajuk-tajuk
pepohonanan yang menjulang tinggi, suara
merdu satwa sudah semakin jarang terdengar dan mereka semakin langka, manusia sudah semakin
jarang untuk ramah dengan sesama mereka. Hutan yang begitu teduh, rimbun dan
kokoh berdiri sudah semakin sulit untuk berdiri. Mereka kian tergusur seiring
dengan berjalannya waktu, demikian juga halnya dengan satwa dan manusia, tempat
hidup mereka kian terhimpit dan terjepit.
Indahnya
hijau rupa, eloknya telaga, gemuruh gemericiknya jernihnya air, hawa dingin
menusuk rusuk dan jiwa raga. Saat hutan rimbun berdiri kokoh banyak yang
berseloroh, mendewakan, memuja dan merasa terjaga serta terlindungi untuk terus
damai dan tenang. Akan tetapi kini, semakin hari semua telah berubah. Langit
biru berubah menjadi awan hitam, indahnya rupa hijau berganti padang ilalang
dan gersang.
Hutan
tidak lagi hutan, berganti tanaman berbuah bertandan tetapi tidak ramah bagi
sesama diantara mereka. Tanah keras, tanah merah dan tanah lembut tidak
memiliki penahan yang kokoh. Batang-bang besar berganti tanaman serupa mirip
kaktus menjadi duri dalam daging bagi pohon sesama mereka. Tanah di gali, di
bor, di keruk, di lobangi selanjutnya mereka di pilih, di buang, di angkat, di
angkut dan jual. Banyak yang mengaduh, gaduh, menjerit kesakitan, di antara
mereka ada yang mendera dan tersakiti, tetapi ada yang tertawa bahagia. Mendera
dan tersakiti bila mereka terhantam dan tertimbun tumpukan tanah, terbawa arus
deras air mengalir dikala hujan dan air badai datang. Akar pohon besar dan
kecil sudah kian menipis terkikis tidak kuat lagi menahan deru dan laju tanah
serta air. Banyak jiwa dan nyawa tanpa dosa melayang tanpa berhenti dan terus
terulang terjadi.
Satwa
atau binatang atau juga ada yang menyebutnya hewan, makhluk hidup ini memiliki
tempat tinggal bernama hutan dan hidup bersama dengan hutan. Mencari makan dan
menjelajahi rimbunya hutan, hijaunya daun dan tersediannya buah-buah hutan yang
disiapkan hutan bagi mereka tanpa pamrih. Makanan selalu siap tersedia setiap
mereka inginkan. Mereka dengan senang bersanda gurau, berteriak sesuka mereka
dan meraung kapan saja mereka mau. Namun sekarang mereka sekarat, melarat,
menjerit dan terhimpit. Saudara-saudara mereka hutan sekarang sedang sakit
keras, bahkan diantara mereka kritis dan mati tanpa banyak yang peduli. Deru mesin seakan tidak berhenti mendera,
hutan berganti lapangan, semakin luas dan terus meluas. Semak duri dan semak
belukar, batang pohon kecil dan juga pohon besar semakin tidak tersisa tanpa
terasa, walau ada yang tersisa tetapi mereka merana dan khwatir akan nasib
mereka diambang ancaman yang terus mendera.
Kini
nasib derita satwa terkatung-katung dan bergantung pada hutan dan manusia.
Orangutan, Bekantan, Tenggiling, burung Enggang, Beruang, Burung-burung kecil,
Monyet atau kera, Kelasi, Kelempiau atau Owa, Harimau, Gajah, Cendrawasih,
Kukang, Kasuari, Kakatua, Bangau, Elang, Macan Tutul dan Macan Dahan, Badak,
Rusa, Babi Rusa, Kijang, burung Nuri dan masih banyak lagi. Satwa-satwa tidak
lagi dengan mudah mencari makan, demikian juga hidup mereka yang kian terusik.
Mereka tidak luas dan bebas lagi bergerak dan mencari makan. Ada diantara
mereka yang diburu, ditangkap, dimakan dan diperjualbelikan. Hidup mereka kian
terkungkung dengan berpindah tempat, berbeda di mana seharusnya mereka berada
yakni hutan nan rimbun dan ramah. Kini mereka, semakin sekarat. Hidup Sesama
satwa lainnya yang tinggal di laut, seperti ikan Paus, Hiu, Penyu, Kura-kura,
Labi-labi dan lumba-lumba semakin hari tempat mereka kian terjepit. Mereka di bom, di pukat dan di jaring. Karang
dan laut sudah kian tercemar dengan aktivitas saudara mereka manusia.
Orangutan tinggal di Hutan bukan di kandang, saat ini hutan semakin terkikis habis. Hutan tempat berdiam satwa semakin sedikit. Foto doc. Yayasan Palung |
Manusia
membuka mata seolah berkaca, namun terkadang lupa dan ingin selalu mendominasi.
Hidup manusia begitu beruntung, mereka dititipkan akal, pikiran dan talenta
oleh Sang Pencipta/Tuhan Yang Maha
Kuasa. Ada banyak di antara manusia yang
begitu peduli dan begitu vocal untuk bersama menjaga dan peduli dengan nasib
sesama mereka manusia, sesama hutan dan satwa. Tetapi ada sangat banyak manusia
lupa dengan akal, pikiran dan talenta yang mereka miliki. Mereka di titipkan
titah atau amanat untuk saling menghargai sesama, semua dan bersama termasuk
dengan hutan dan satwa.
Kehidupan
begitu mudah dan begitu kerasnya, bertahan dengan berbagai tantangan dan
realita hidup dan tuntutan. Sering terjadinya pertikaian, penghargaan terhadap
sesama semakin suli ditanamkan atau diperoleh. Manusia banyak yang lupa dan
egois. Ada banyak yang ingat dan peduli, namun sulit untuk berbuat karena
aturan, tantangan dan larangan. Mereka
yang lupa tanpa henti membiarkan teriakan, tangisan sesama manusia itu sendiri,
saat melarang sesama mereka menggunduli hutan dan mereka lupa tempat sesama
mereka satwa sedang kritis, sakit dan menjerit terhimpit. Mereka ingat namun
terkadang lupa dan ada yang sengaja melupakan bahkan memperlakukan sesama
mereka berbeda pula. Sepertinya mereka sudah semakin sulit dan lupa untuk
saling menghargai.
Jerit
tangis kemarahan hutan, satwa dan manusia sama menggema saat menderita. Hutan,
satwa dan manusia sepertinya berdiri sendiri-sediri. Manusia sibuk dengan diri
mereka, hutan dan satwa diam, tetapi mereka berbicara dengan bahasa mereka,
sesekali menjerit saat mereka mengerang kesakitan dan terbangun, saat air tidak
lagi sanggup menampung dirinya maka dia tidak kuasa menahan untuk mengalir dan
menyusuri setiap sudut desa dan kota.
Setiap
waktu, nafas hidup hutan, satwa dan
manusia selalu berjalan sembari
berjalan menyusuri waktu dan menunggu sampai ajal menjemput. Hutan meranggas,
riuh bersuara merintih dan rebah tak berdaya hilang lenyap tidak bertepi.
Satu
kesatuan antara hutan, satwa dan manusia sudah seharusnya terjalin. Akan
tetapi, sepertinya manusia kian sombong dan angkuh dengan akal, pikiran dan
talenta mereka. Realita dan fakta berbicara, hutan semakin tua dan renta, satwa
semakin langka dan manusia semakin mandiri dan enggan peduli dengan sesamanya
namun bencana semakin sering terjadi.
Hutan
dan satwa sama-sama bicara dalam bahasa mereka tentang derita dan tangis mereka
kepada manusia. Bukan kah, Saat hutan tidak tegak lagi berdiri dan satwa
menangis meraung sakit terhimpit dan manusia sulit bicara hanya ada satu kata
mereka menderita.
Hutan, satwa dan manusia sama-sama menderita.
Sebuah kewajaran bila dikatakan, hutan membutuhkan manusia, satwa butuh hutan
dan hutan perlu manusia untuk demi keberlanjutan. Semoga semua mampu untuk
saling menghargai satu dengan yang lainnya, perbuatlah hidup ini indah bagi
semua dan sama tanpa membedakan dan apa adanya. Semoga saja…
No comments:
Post a Comment