Foto : Burung Enggang, Bebas lepas, foto doc. Bedu Varanoid Munaf Khan, Yayasan Palung
Sejak tahun lalu (2012)
hingga permulaan tahun 2013, kembali kasus perdagangan satwa kian marak dan
terus berlanjut. Beberapa kasus penyeludupan paruh burung enggang beberapa kali
digagalkan di bandara udara saat akan diseludupkan ke luar negeri. Kasus
penyeludupan paruh burung enggang semakin hari kian memprihatinkan.
Keberadaan burung Enggang
semakin terancam, Perburuan liar masih kerap terjadi. Perburuan burung enggang
tidak lain dan tidak bukan karena alasan untuk mengambil paruhnya yang memiliki
nilai jual tinggi. Kasus perburuan dan perdagangan satwa ini kian marak terjadi
sejatinya menjadi prioritas untuk diselesaikan, namun hingga saat ini
kasus-kasus perdagangan dan penyeludupan kembali terjadi dan terulang.
Rentetan panjang tentang
penyeludupan paruh burung yang menjadi maskot masyararakat Kalimantan semakin
memprihatinkan, mengingat populasi dan habitat burung enggang atau rangkong
semakin sedikit, sempit dan terancam. Sejak tahun 2012, di mulai Agustus 2012,
kasus Penyelundupan mulai terkuak, 96 Paruh Burung Enggang berhasil diamankan
petugas bandara. November 2011, 28 paruh burung enggang diamankan dari
kargo ekspedisi menuju Jakarta. Desember 2012, Balai Konservasi Sumber Daya
Alam Kalbar menggagalkan penyelundupan 270 paruh enggang, Agustus dan September
lalu. Paruh diselundupkan ke China melalui Bandar Udara Supadio. Penangkapan
penyeludupan kembali terulang pada, Januari 2013, Paruh burung Enggang sebanyak
284 buah, kulit trenggiling sebanyak 189 keping. Nilai yang ditaksir jika
dijual sebesar Rp 1 milyar lebih. Pelaku berasal dari negara Cina berjumlah
empat orang. Dengan modus membawa sebagai barang bawaan penumpang.
Foto : Paruh burung dilindungi dan hampir punah itu hendak
diselundupkan ke China, foto doc. Kompas/Agustinus Handoko
Sebaran habitat burung
besar tersebut tersebar di pedalaman hutan Kalbar diantaranya daerah Melawi,
Kapuas Hulu, Sintang, Sanggau, dan Ketapang. Burung Enggang Gading merupakan
jenis satwa yang populasinya sangat sedikit. Burung ini termasuk jenis satwa
dilindungi sehingga tidak dapat dipergunakan untuk kepentingan apapun.
Enggang atau Rangkong
dalam bahasa Inggris disebut Hornbill adalah sejenis burung yang
mempunyai paruh berbentuk tanduk sapi tetapi tanpa lingkaran. Biasanya paruhnya
itu berwarna terang. Nama ilmiahnya "Buceros" merujuk pada
bentuk paruh, dan memiliki arti "tanduk sapi" dalam Bahasa Yunani.
Burung Enggang tergolong
dalam kelompok Bucerotidae yang termasuk 57 spesies. Sembilan spesies
dari padanya berasal endemik di bagian selatan Afrika. Makanannya terutama
buah-buahan juga kadal, kelelawar, tikus, ular dan berbagai jenis serangga.
Ketika waktunya mengeram, enggang betina bertelur sampai enam biji telur putih
terkurung di dalam kurungan sarang, dibuat antara lain dari kotoran dan kulit
buah. Hanya terdapat satu bukaan kecil yang cukup untuk burung jantan
mengulurkan makanan kepada anak burung dan burung enggang betina. Apabila anak
burung dan burung betina tidak lagi muat dalam sarang, burung betina akan memecahkan
sarang untuk keluar dan membangun lagi dinding tersebut, dan kedua burung
dewasa akan mencari makanan bagi anak-anak burung. Dalam sebagian spesies,
anak-anak burung itu sendiri membangun kembali dinding yang pecah itu tanpa
bantuan burung dewasa.
Indonesia memiliki 13
jenis rangkong, 3 diantaranya merupakan endemik. Sampai saat ini di dunia
terdapat 55 jenis burung rangkong. Berdasarkan peraturan RI No 7 tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, diketahui bahwa burung Enggang
gading dan trenggiling merupakan satwa yang dilindungi dan termasuk apendik
1(terancam punah). Rangkong Badak (Rinoceros hornbill) dan Rangkong
Gading ( Helmeted hornbill), mendapat perlindungan perundang-undangan
Indonesia, berdasarkan peraturan perlindungan binatang liar 1931 dan
peraturan RI No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
dilindungi, selain itu juga, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam Undang-Undang ini cukup jelas
disebutkan bahwa perdagangan dan pemeliharaan satwa dilindungi itu dilarang dan
pelanggarnya bisa dikenai sanksi penjara 5 tahun atau denda Rp 100 juta.
Saat ini, perlindungan dan
pengawasan terhadap perdagangan satwa dilindungi sudah selayaknya menjadi
perhatian semua pihak. Mengingat maraknya perburuan dan perdagangan satwa juga
terjadi pada satwa-satwa lainnya. Maraknya perdagangan satwa selain paruh
enggang juga terjadi pada penyu dan trenggiling. Data Kementerian Kehutanan
(Kemenhut) periode 2011 sampai 2012, berhasil disita dan di musnahkan Sekitar
12,7 ton trenggiling dan yang lebih memprihatinkan Perdagangan penyu dari
Indonesia sudah berlangsung sejak era 1950-an (data Everlasting Nature of Asia).
Semoga saja kasus perdagangan terhadap satwa dilindungi dapat ditangani dan
diselesaikan dengan harapan memberikan saksi hukum berdasarkan undang-undang
yang berlaku.
By : Petrus Kanisius “Pit”- Yayasan Palung.
No comments:
Post a Comment